Menjadi Muslim yang Sederhana
PAWELING.COM - Agama menurut penulis merupakan keyakinan yang menyatu pada diri manusia. Sama halnya dengan agama yang penulis peluk yaitu I...
PAWELING.COM - Agama menurut penulis merupakan keyakinan yang menyatu pada diri manusia. Sama halnya dengan agama yang penulis peluk yaitu Islam. Agama Islam merupakan organisme yang selalu melekat, beriringan dengan detak jantung yang mendesirkan darah ke seluruh tubuh manusia. Kemudian Islam menjadi nafas yang segar kalau sang pemeluk benar-benar menjaga organisme tersebut dengan baik.
Adapun Islam dalam konteks sosial, mempunyai peranan yang sangat kompleks dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat bisa bergerak secara dinamis beriringan dengan nilai-nilai keyakinan yang ia peluk. Agama Islam yang berawal dari sebuah keyakinan, kemudian dimanifestasikan menjadi sebuah kebiasaan yang berevolusi menjadi tatanan sosial kemasyarakatan yang melekat.
Berbicara mengenai agama Islam, Penulis sangat terinspirasi oleh uraian Ulil Abshar Abdallah atau akrab dengan sapaan Gus Ulil yang tercatat di dalam bukunya yaitu “Sains Religius, Agama Saintifik.” Beliau mendeskripsikan mengenai tipologi masyarakat muslim, dengan begitu gamblang. Menurut Gus Ulil, masyarakat muslim secara garis besar mempunyai dua tipologi.
Pertama masyarakat muslim yang “Khawas.” Maksud dari masyarakat muslim yang Khawas yaitu mereka beragama dengan corak intelektualistik. Dalam hal menjalankan dinamika keagamaan, mereka cenderung menggunakan paradigma keilmuan yang canggih, berbekal wacana keislaman yang mumpuni. Jadi, pemikiranya mereka juga menggunakan paradigma filsafat, Teologi, tafsir dan sebagainya.
Kemudian tipologi masyarakat muslim yang selanjutnya adalah, masyarakat “Awam” yaitu masyarakat yang memiliki cara beragama sederhana. Sederhana yang dimaksud adalah mereka beragama cukup dengan pengetahuan fiqih dan Akhlak untuk menjalankan kehidupannya. Tanpa harus memikirkan keilmuan agama Islam yang lebih dalam dan terkadang rumit.
Menurut penulis, hal yang paling menarik dari uraian Gus Ulil ini adalah mengenai tipologi masyarakat yang awam. Dengan cara keislaman masyarakat yang awam, bukan berarti posisi mereka di bawah masyarakat yang mempunyai cara berislam yang intelektualistik. Adapun corak yang seperti itu justru memiliki nilai yang begitu unik.
Penulis sedikit bercerita mengenai cara Orang-orang pada zaman dahulu yang masyarakat juluki dengan Kyai Ndeso, mereka beragama tidak seperti doktor atau profesor dengan penalaran yang sangat canggih. Mereka beragama dengan penuh penghayatan, kitab-kitab yang didalami pun tidak seperti layaknya intelektual Islam lainya, seperti Fathul Mu’in, Tafsir Jalalain, Shahih Bukhari dan kitab-kitab yang tingkatnya lebih tinggi lainya.
Tetapi mereka menjalankan keislamannya dengan ilmu yang cukup sederhana, ia hanya berbekalkan kitab-kitab dasar seperti Sulam Taufiq, Safinatunaja, Ta’limul mutaalim dan kitab sejenisnya. Mereka dalam hal mendalami sebuah ilmu yang dituang dalam kitab-kitab yang dipelajari, tidak digunakan untuk ber-mujadallah, atau debat, untuk memperlihatkan kehebatan ilmu masing-masing, yang rawan akan kesombongan, tetapi tak lain hanya untuk Tazkiyatunnufuz atau memperbaiki diri menjadi lebih baik.
Penulis mempunyai pandangan subjektif, terkait hal itu. Beragama dengan cara intelektualistik, memang penting, untuk mengikuti perkembangan zaman yang semakin kompleks perlu adanya pemikiran Islam yang Khawas di era sekarang. Namun juga sangat perlu menerapkan model berislam yang sederhana ala orang awam, sebagai wujud self introspection agar tidak lupa siapa jati diri kita, sebagai hamba tuhan yang lemah.
Sebagai kalimat pamungkas, mengenai corak Islam yang sederhana yang telah penulis paparkan. Seorang tokoh ulama muslim Fakhruddin ar-Razi pengarang tafsir “Mafatihul al-Ghaib.” Konon juga melontarkan kalimat bernada keluhan di ujung hayatnya, dengan melontarkan kata-kata yang lirih kepada orang-orang yang disekitarnya “Andai aku bisa beragama dengan sederhana seperti beragamanya orang awam itu.”
Hal itu menandakan bahwa, ketika berislam tidak harus mengikuti corak muslim yang khawas. Justru berislam ala orang awam-lah yang memiliki peace of mind yang hakiki. Menjalankan agama dengan intensitas yang mendalam, antara Insan dan penciptanya. Tanpa terlibat dengan perdebatan dan pretense keilmiahan yang terkadang membuat hati kita tidak tenang.***
Penulis : Syamsul