Hegemoni 'Sarung' dan Hilangnya Sakralitas Kaum Santri
Instagram Santri Indonesia Belakangan, Hari Santri Nasional sedang ramai diperbincangkan. Setelah pandemi berlalu, berbagai acara peringat...
Instagram Santri Indonesia |
Belakangan, Hari Santri Nasional sedang ramai diperbincangkan. Setelah pandemi berlalu, berbagai acara peringatan Hari Santri kembali digelar dimana-mana. Termasuk di Ponorogo yang notabene banyak lembaga pondok pesantren, sehingga peringatan Hari Santri menjadi sangat diminati.
Pondok Pesantren di desa-desa maupun di kota-kota menggelar banyak acara untuk meramaikan formalitas Hari Santri tersebut. Sebuah pesantren yang lumayan agak besar di dekat rumah saya telah menggelar berbagai macam perayaan hari santri. Mungkin bagi kamu yang belum tahu, setiap tanggal 22 Oktober telah ditetapkan Presiden Jokowi sebagai Hari Santri Nasional sejak 2015 silam.
Hiruk pikuk perayaan hari santri rupanya juga ramai digelar di wilayah kota. Bahkan instruksi bupati nomor 5 tahun 2022, isinya menganjurkan masyarakat Ponorogo untuk memakai sarung sejak tanggal 14 sampai 22 Oktober 2022.
Sedangkan perempuan mengenakan pakaian muslim berhijab. Sementara bagi non muslim cukup dengan pakaian yang menyesuaikan untuk menghormati para santri. Menyesuaikan bagaimana maksudnya?
Benar adanya, sekolah-sekolah dan pondok pesantren di Ponorogo hampir semuanya mengenakan pakaian yang diinstruksikan Bupati. Mulai dari murid hingga guru dan para staf mengenakan sarung dan pakaian muslim. Menurut berita yang beredar pun, suasana gedung pemkab berubah menjadi pondok pesantren dadakan.
Lantas apa hubungannya santri dengan sarung?
Nah menarik ini, karena saya sangat familiar dengan kehidupan para santri dan sarungnya yang dipakai kesana kemari. Bagaimana tidak, lhawong rumah saya dengan pesantren hanya berjarak satu jengkal saja. Namun hidup di lingkungan pesantren tidak membuat saya lantas menjadi santri. Sebab hingga kini saya tidak bisa 'sarungan'.
Kembali ke pertanyaan sebelumnya. Sebenarnya saya sedikit bingung untuk menghubungkan keduanya. Hanya saja, jamak diketahui bahwa sarung merupakan busana khas yang menjadi identitas para santri. Sarung adalah pakaian bawahan pengganti celana. Para santri lebih suka memakai sarung lantaran lebih fleksibel untuk digunakan aktivitas. Mengingat di pondok pesantren biasanya memiliki jadwal yang sangat padat.
Bagaimana tidak, kamu bisa memakai sarung dalam setiap kondisi mulai untuk sholat berjamaah, bersantai di rumah, hingga memudahkan untuk buang air karena membukanya lebih mudah. Sarung juga tidak terlalu mengikat area pinggang, sehingga membuat tubuh lebih rileks dan peredaran darah tetap lancar.
Hal ini mungkin berbeda jika menggunakan celana yang biasanya lebih mengikat dan tidak fleksibel untuk bergerak. Meskipun jaman sekarang ada banyak jenis celana yang menggunakan bahan yang lebih fleksibel.
Baiklah kembali ke persoalam santri dan sarung. Pada intinya sarung dipandang sebagai busana santri yang memudahkannya dalam beraktivitas. Karena itulah menjadikannya kewajiban dalam sebuah sistem pendidikan pondok pesantren.
Terlepas dari itu semua, sebenarnya penetapan hari santri oleh Jokowi dan instruksi memakai sarung oleh bupati Ponorogo ini masih menjadi polemik yang menarik dibahas. Sejatinya maksud penetapan hari santri itu baik. Yaitu untuk menghidupkan kembali eksistensi santri di Indonesia. Pada zaman penjajahan, para ulama beserta santri-santrinya turut aktif menjadi garda terdepan memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Akan tetapi, yang menjadi kekhawatiran di masa yang akan datang ialah hari santri dijadikan sebagai alat politik untuk mendapatkan suara di pemilu. Tentu kita tahu, jumlah santri di Indonesia sangatlah banyak. Jika seorang calon pemimpin mampu menguasai massa dari pondok pesantren, bisa dikatakan ia memenangkan pemilu. Contohnya tidak perlu saya sebutkan, karena semua orang pasti sudah mengetahui pilpres 2019 lalu yang membagi masyarakat jadi dua kubu.
Jumlah santri yang sangat banyak ini menjadi sasaran empuk para calon dalam pemilu. Apalagi jika Sang Kyai telah berhasil 'dikuasai', yakin 99,8 persen santrinya tunduk. Sebab filosofi santri ialah 'manut dawuh kyai'. Lalu yang 2 persen kemana? Mungkin jadi santri yang punya pendirian sendiri, dan sisanya mungkin yang hanya suka nongkrong di warung kopi. Eh!
Masih berkaitan dengan hari santri, instruksi bupati Ponorogo nomor 5 tahun 2022 yang menganjurkan masyarakat memakai sarung itu menurut saya adalah ide yang menggelikan. Analisis jahat untuk menanggapi instruksi tersebut ialah karena pemerintah menjadikan sarung sebagai alat politik untuk menghegemoni orang awam (seperti saya) bahwa menjadi santri hanya cukup dengan memakai sarung.
Begini penjelasannya. Instruksi tersebut bisa saja menghilangkan sakralitas sarung yang menjadi identitas para santri Nusantara. Ya, sarung memang hanya dikenakan oleh Muslim Indonesia. Kamu tidak akan menemukan muslim Arab pakai sarung. Jika ada, mungkin dia darahnya kental Indonesia.
Sejatinya, sarung menjadi simbol religiusitas dan kesalehan seorang santri. Namun dengan adanya hari santri yang diperingati secara formal ini, maka kalau kata teman saya "Jika menjadi santri hanya sebuah formalitas, maka menjadi santri hanya menjadi santri pakaian, tidak menjadi santri dzohiran wa bathinan".
Ungkapan tersebut saya kira cocok untuk menggambarkan kebijakan lucu pemerintah kita. Sebab banyak hal-hal yang lebih mengkhawatirkan di kemudian hari, bahwa Hari Santri Nasional yang diperingati secara formal dan hegemoni sarung ini justru bisa menghilangkan hakikat santri itu sendiri. Sebab bisa jadi hari santri menjadi alat politik pemerintah yang tujuannya belum tentu membawa maslahat untuk umat.
(arn)
Ini yang nulis belum ngerti to kalau pak giri emang pake pondok sebagai alat politik
ReplyDeleteKan bukan hanya pak giri, tp hal ini memang eksis dipanggung pagelaran politik kita...
ReplyDelete