Refleksi Intelektual Hari Santri, Nyatanya Semua Hanya Berujung Pada Duniawi
PAWELING.COM - Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) tentu sangat meriah sekali perayaannya. Karena tingkatnya nasional hampir semua daerah...
PAWELING.COM - Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) tentu sangat meriah sekali perayaannya.
Karena tingkatnya nasional hampir semua daerah di negeri ini merayakan HSN, namun menurut penulis, perayaan ini tak ubahnya seperti perayaan yang lain, perayaan yang tanpa makna.
Peringatan HSN tidak ada satu hal menarik yang bisa diambil pelajaran di kemudian hari.
Perayaan HSN yang segmentasi ini hanya akan jadi segmentasi belaka, karena tiada nilai tertentu di dalamnya.
Apakah tidak ada nilai sama sekali, tentu tidak, setidaknya masih ada nilai, yang meminjam kata soekarno "jas merah" jangan lupakan sejarah.
HSN yang jatuh pada tanggal 22 Oktober ditetapkan oleh presiden Joko Widodo di tahun 2015.
Dasarnya adalah seruan resolusi jihad oleh KH Hasyim Asyari pada tanggal 22 oktober 1945, resolusi jihad yang dimaksudkan kepada seluruh santri dan para kiyai untuk bersatu padu menggempur agresi militer yang dilakukan Belanda pada Indonesia yang baru merdeka seumur jagung.
HSN dimaksudkan untuk mengenang jasa para santri yang ikut dalam membela kemerdekaan.
Tetapi bukan ini nilai yang penulis maksud, akan tetapi nilai yang melekat pada santri itu sendiri, yakni nilai kamanungsan, bukan hanya nilai sendiko dawuh mau digerakkan kemana kemari persis seperti peringatan HSN yang kesana kemari itu.
Lanjut pada nilai kamanungsan yang saya hendak bicarakan, kamanungsan disini dapat dimaknai dengan hubungan antar manusia atau sifat yang melandasi hubungan antar manusia, atau dalam istilah Jawanya disebut nguwongne wong.
Gampangnya kamanungsan adalah nilai etika santri tentang bagaimana memperlakukan manusia lainnya.
Tapi nilai itu kian kesini kian meluntur, bukan hanya ke santri, hal serupa juga terjadi pada entitas diatasnya, diantaranya para gawagis-gawagis (putra-putra kiai).
Gawagis-gawagis (putra-putra kiai) yang sangat mengakui kedalaman ilmunya, yang ditempa oleh kehidupan pesantren sejak lahir ceprot kedunia dan oleh keluarganya sendiri yang tentu saja keluarga kiai, keluarga yang menjaga nilai-nilai kamanungsan.
Meskipun begitu sekarang banyak dari para gawagis ini, karena merasa seorang gus, agus anaknya kiai, dalam bersikap atau berhubungan sesama manusianya, merasa gumede, merasa tinggi derajatnya diantara yang lain, sehingga dia ingin selalu dimanusiakan oleh manusia yang lain atas sikap angkuh dan gumedenya ini, lebih parahnya banyak diantara gawagis ini yang memanfaatkan kedudukannya, istilah inteleknya relasi kuasa yang dimilikinya untuk kepentingan dan kesenangannya sendiri.
Tapi bukan semua gawagis, masih banyak gawagis yang bisa dijadikan tauladan.
Gawagis-gawagis yang mementingkan kepentingan pribadinya adalah oknum gawagis.
Tulisan ini hanya ingin menunjukkan secuil keburukan saja, satu diantara gawagis tersebut adalah Subkhi Azal Tsani.
Dia adalah anak kiai salah satu pondok pesantren di Jombang Jawa Timur yang menurut penulis selain memiliki sifat gumede tadi juga telah luntur pula sikap kemanungsan-nya.
Sebagai Gawagis, belio tidak hanya memanfaatkan relasi kekuasaan tapi juga melakukan tindakan keji lainnya, yakni pemerkosaan.
Dia telah melakukan pencabulan dan kekerasan seksual pada santriwati di pondoknya tanpa rasa bersalah sama sekali.
Hingga kini meski dia telah ditangkap dan disidangkan atas kasusnya, upaya mendapatkan pengakuan tidak bersalah atas dirinya terus dilakukan termasuk juga oleh ayahandanya sendiri selaku pengasuh pondok pesantren yang santriwatinya dicabuli oleh anaknya sendiri.
Hal ini mencoreng nama baik pesantren yang dikenal selalu mengugemi nilai-nilai kamanungsan.
Mengapa hal demikian bengis bisa terjadi, padahal saya pernah dengar bahwasannya jangankan berzina, untuk mendekatinya pun tidak diperkenankan.
Pertanyaannya jika pengampu dari lembaga pendidikan Islam (baca:ponpes) menabrak hukum (Islam) lantas bagaimana yang tidak santri?
Kemana nilai kamanungsan dalam lembaga pendidikan Islam pesantren ini, jangan-jangan sudah digadaikan dengan sebungkus makanan, seperti teman saya, sebut wali kamdan yang telah menggadaikan harga dirinya dengan 2 bungkus mie (tentu ini sekedar anekdot).
Kembali pada perayaan yang tanpa nilai tadi, adakah yang melihat HSN sebagai refleksi perenungan atas lunturnya rasa kamanungsan yang saya maksud tadi?
Cukuplah disini tulisan ini, tak perlu panjang lebar karena keterbatasan pengetahuan penulis yang sudah njendel mau menuliskan apa.
Oleh: Umar A