Bukan Salah Anak! Ponorogo Viral Akibat Dispensasi Nikah Usia di Bawah Umur Itu Bukti Lemahnya Edukasi Seks
huffpost.com |
Mendengar
kata Ponorogo, sebagian orang biasanya akan langsung teringat dengan kesenian
Reyognya. Kabupaten yang luasnya 1.371,78 km² dan dikelilingi pegunungan itu dikenal
sebagai kota kecil yang menyimpan berbagai keunikan, mulai dari kesenian,
kuliner, hingga yang viral belakangan ini yaitu adanya ratusan dispensasi kawin
(diska) anak di bawah umur. Hah, nggak
salah tuh?
Iya, saya
sebagai warga Ponorogo asli tentu saja kaget dengan berita yang hampir
diketahui seluruh penikmat media sosial. Padahal ada destinasi wisata baru yang
semestinya tak kalah menarik perhatian warganet yaitu Air Mancur Menari. Ya, air mancur itu menari di atas Telaga
Ngebel yang luasnya sekitar 150 hektare dan berada di ketinggian 610 mdpl.
Tapi
ternyata ia tidak setenar berita tentang dispensasi nikah yang mayoritas usia
di bawah umur. Apakah pemberitaan yang viral itu benar-benar nyata? Mari kita
buka datanya!
Merunut
pada Peraturan Mahkamah Agung (MA) No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili
Permohonan Dispensasi Kawin adalah pemberian izin oleh pengadilan kepada calon
suami istri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan. Jadi
apabila kamu masih usia 15 tahun dan ingin menikah, maka perlu mengajukan
diska.
Kini berita
tentang dispensasi nikah anak di bawah umur ini memang sudah surut. Lantaran
faktanya jauh berbeda dengan informasi yang telah diposting di akun-akun viral
itu. Namanya juga akun viral, kalau nggak
viral ngapain diunggah. Tapi karena
berita bombastis itu, Ponorogo jadi tercoreng namanya di kancah dunia
permedsosan.
Ternyata eh ternyata, berdasarkan hasil rekap
data dispensasi kawin dari Pengadilan Tinggi Agama Surabaya sepanjang tahun
2022, dari total 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur, Ponorogo menempati posisi
ke-28 dengan jumlah total 191 perkara. Jumlah itu tentu saja masih kalah jauh
dengan Kabupaten Malang yang menempati peringkat pertama dengan 1.455 perkara
dan disusul Jember sebanyak 1.305 perkara dispensasi kawin.
Tetapi, angka
191 perkara pernikahan anak usia dini di Kota Reyog itu perlu perhatian
berbagai pihak. Bagaimana tidak jika 125 di antaranya adalah kasus Kehamilan
yang Tak Diinginkan (KDT) pada anak di bawah umur. Sementara sisanya, memang
sudah kebelet nikah atau karena
pasrah dengan kondisi ekonomi keluarga. Jadi, mau tidak mau harus melepaskan
anak di bawah umur untuk menikah agar tidak menjadi beban keluarga. Miris!
Sebenarnya
pemberian diska bukanlah keputusan yang bijak, lho. Sebab tentu saja hal ini bisa jadi pemicu meningkatnya angka
pernikahan dini. Minimal batas umur pernikahan tidak berguna lagi. Mengapa harus nunggu 19 tahun kalau ada
alternatif dispensasi nikah?
Padahal, pernikahan
dini disebut-sebut sebagai lingkaran setan yang memiliki efek jangka panjang. Pernikahan
pada usia yang belum siap secara fisik, mental dan finansial bisa menyebabkan
dampak serius karena berpotensi meningkatkan kasus stunting pada anak yang dilahirkan, KDRT hingga kemiskinan.
Buktinya stunting balita di Indonesia berada pada
angka 24 persen. Ini menurut data dari Kementerian Kesehatan RI, lho ya. Tentu saja masalah ini
membutuhkan perhatian dari banyak pihak.
Sebenarnya
apa sih penyebabnya? Tentu banyak
faktor yang memicu kasus Kehamilan Tak Diinginkan anak di bawah umur yang
berakhir pada pengajuan dispensasi kawin ini. Pertama, peran orang dewasa yang sangat kurang dalam mendampingi
tumbuh kembang anak.
Pada usia
pubertas, anak-anak perlu mendapat pendampingan tentang masalah perubahan
biologis tubuhnya yang berpengaruh pada ketertarikan terhadap lawan jenis. Bilang
ke anak-anak, bahwa ketertarikan pada lawan jenis itu adalah hal yang wajar
akibat dari perubahan hormon! Jangan memarahi anak jika mereka curhat tentang
orientasi seksualnya. Jadilah tempat bercerita yang nyaman dan aman bagi
anak-anak.
Kedua, edukasi seks yang masih sangat kurang
diterapkan di lingkup keluarga hingga lembaga pendidikan tempat si anak
belajar. Padahal edukasi tentang seks adalah pengetahuan dasar yang penting
diberikan sejak dini ke anak-anak.
Menurut
Sigmund Freud yang dikenal sebagai ahli psikoanalisis, usia 12 tahun ke atas
adalah tahap akhir dari perkembangan psiko seksual anak. Organ dan hormon
seksual anak mulai aktif dan mereka sudah bisa menikmati aktivitas seksual
secara sadar.
Ironisnya,
edukasi seks seringkali masih dianggap tabu oleh orang tua dan masyarakat.
Obrolan-obrolah tentang seks hanya dinilai dari sisi sensualnya saja dan sering
dikategorikan sebagai pornografi. Anak-anak semakin dijauhkan dari pengetahuan
tentang seks. Akibatnya pelarian mereka adalah melalui gadget. Berbagai konten YouTube
dan media sosial yang luput dari pendampingan orang dewasa malah menyebabkan
anak terkontaminasi perilaku kekerasan dan pelecehan seksual.
Ketiga, konten pornografi yang mudah diakses lewat gadget. Karena anak tidak ada tempat
untuk ngobrol masalah seks, maka
mereka lari ke gadget. Maka tak heran kini banyak anak usia dini sudah
melakukan sexting lewat chat.
Sebenarnya,
persoalan dispensasi kawin (diska) karena KDT pada anak di bawah umur bukanlah
murni kesalahan anak. Warganet dengan tanpa filter menyebut anak-anak jaman
sekarang sudah tidak bermoral, dewasa sebelum waktunya, akhlak yang bobrok, dan
umpatan lain yang menyudutkan anak-anak.
Jadi gini
lho, saudara-saudaraku yang budiman! Seharusnya kita sadar, bahwa perkara itu
adalah bukti bahwa orang dewasa kurang memerhatikan kebutuhan anak dalam hal
pengetahuan seksual. Ditambah lagi masyarakat kita yang doyan sekali
mengonsumsi dalil agama yang menganggap obrolan tentang seks adalah hal intim
dan tabu. Tidak layak dibicarakan dengan anak-anak.
Padahal,
tentu saja obrolan tentang seks dengan anak-anak juga ada silabusnya. Ada tingkatan obrolan sesuai dengan
usia anak. Tidak lantas membicarakan gaya-gaya yang nikmat buat mantab-mantab, kan!
Penulis: Arini Saadah