Peningkatan Kekerasan Terhadap Jurnalis: Bukti Matinya Demokrasi dan Menguatnya Otoritarianisme
Foto: aji.or.id |
Kebutuhan
terhadap informasi kini sudah menjadi kebutuhan pokok yang harus dipenuhi.
Meliput berita yang menjadi kepentingan publik semestinya menjadi kewajiban
bagi jurnalis. Akan tetapi banyak tantangan dan penolakan di lapangan saat
mereka meliput isu-isu yang krusial. Bahkan tak sedikit dari mereka yang
mengalami kekerasan.
Di negara
yang mengaku demokrasi ini, para pekerja media semakin banyak menghadapi berbagai
bentuk kekerasan. Undang-Undang Pers yang ada belum mampu melindungi jurnalis
dari ancaman dan kekerasan saat melakukan kerja peliputan. Sementara pelaku
kekerasan terhadap jurnalis kerap lolos dari jeratan hukum karena kekuasaan
yang dimilikinya.
Sepanjang
tahun 2022, kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia menunjukkan tren
peningkatan dari tahun sebelumnya. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
mencatat terdapat 15 kasus kekerasan fisik, 15 kasus serangan digital, 10 kasus
teror dan intimidasi, 5 kasus perusakan/perampasan alat, 4 kasus penghapusan
hasil liputan, 3 kasus penuntutan hukum, 3 kasus kekerasan seksual, 3 kasus
pelarangan liputan, 3 kasus penahanan, dan 1 kasus pelarangan pemberitaan.
Meningkatnya Angka Kekerasan Terhadap Jurnalis
Divisi
Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Erick Tanjung,
menyampaikan ancaman terhadap jurnalis tak hanya berasal dari pasal karet
perundang-undangan, melainkan juga dari serangan digital, kekerasan fisik, verbal,
seksual, pelaporan dan penahanan hingga penyensoran.
“Sepanjang
tahun 2022, kekerasan terhadap jurnalis meningkat daripada tahun 2021,” ujar
Erick Tanjung dalam Konferensi Pers Catatan Akhir Tahun AJI 2022 melalui zoom meeting, pada Senin (16/01/2023).
“Serangan
paling banyak terjadi pada 2022 adalah kekerasan fisik dan perusakan alat,”
tambahnya.
Rekapilutasi
dari berbagai jenis serangan pada 2022 tersebut menghasilkan angka 61 kasus
kekerasan dengan 97 korban. Jumlah ini meningkat dari tahun 2021 yakni 43
kasus. Perlu diketahui, dari 15 serangan fisik ke jurnalis, empat di antaranya
adalah berkaitan dengan pemberitaan lingkungan dan konflik agraria.
Contohnya
kasus Faisal, jurnalis AmperaNews
yang dibacok di bagian kepala, leher dan tangan saat meliput pengolahan emas
ilegal di Desa Mulyo Sari, Dusun Way Ratai, Kabupaten Pesawaran, Lampung pada 5
Desember 2022. Selain itu juga terjadi pada Nurkholis Lamaau, redaktur cermat.id di Ternate yang dipukul oleh
keponakan Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan usai menulis opini tentang debu batu
bara.
Pelaku Didominasi Aktor-Aktor Negara
Laporan AJI
menunjukkan, rupanya pelaku kekerasan terhadap jurnalis didominasi oleh
aktor-aktor negara. Sebanyak 24 kasus kekerasan, 15 kasus dilakukan oleh pihak
kepolisian, 7 kasus oleh aparat pemerintah dan 2 kasus dari TNI.
Sementara
itu, terdapat 20 kasus dari aktor non-negara yang melibatkan ormas sebanyak 4
kasus, partai politik 1 kasus, perusahaan 6 kasus dan warga sipil 9 kasus.
Sedangkan 17 kasus lainnya belum teridentifikasi pelakunya.
Sekretaris
Jendral Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Ika Ningtyas, menyampaikan
pelaku terbanyak kekerasan terhadap jurnalis adalah dari pihak kepolisian.
“Ketika ada
kekerasan terhadap jurnalis, maka ini adalah bentuk pembungkaman dan serangan
pada kebebasan pers,” tegas Ika Ningtyas pada acara yang sama, Senin
(16/01/2023).
Tak
berhenti pada kasus kekerasan fisik, serangan pun juga dilakukan melalui
digital, seperti peretasan akun pribadi, pengambilalihan akun YouTube, hingga DDoS terhadap situs media daring. Pada 2022, serangan digital
semacam itu terjadi sebanyak 15 kasus dengan 43 korban awak redaksi dan 9
media.
Gunung Es Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Jurnalis Perempuan
Fenomena
kekerasan terhadap jurnalis bagaikan penampakan gunung es. Laporan yang
diterima oleh AJI tentu saja belum bisa mengcover semua kekerasan yang terjadi
di lapangan, terutama ancaman yang dirasakan para jurnalis perempuan.
Kasus
kekerasan seksual pun menjadi ancaman yang perlu diwaspadai. Contohnya, seorang
jurnalis perempuan berinisial L di Makassar, mengalami kekerasan seksual oleh
pengawal Anies Baswedan. Pengawal itu mendorong L dengan cara memegang buah
dadanya. Korban mengaku syok dan kemudian mundur dari kerumunan untuk
menenangkan diri. Insiden itu terjadi pada 9 Desember 2022 lalu. Temuan lain menunjukkan, jurnalis perempuan di Papua berinisial EH mengalami kekerasan verbal
berupa ancaman pemerkosaan pada 21 Februari 2022.
Dengan
adanya berbagai tindak kekerasan seksual terhadap jurnalis, maka diperlukan SOP
khusus yang bisa melindungi para korban. Hal ini disebabkan kekerasan seksual
bersifat unik dan tidak memiliki template
sehingga membutuhkan penanganan khusus.
“Kekerasan
seksual sifatnya unik dan tidak punya template.
Butuh special treatment karena
melibatkan psikologi juga,” ujar Nani Afrida, Divisi Gender, Anak dan Kelompok
Marginal AJI.
Menurutnya, Dewan Pers juga saat ini belum memiliki SOP tentang kekerasan seksual. Maka dari itu AJI merumuskan SOP untuk menangani kasus kekerasan seksual di kalangan jurnalis. Selain itu, setiap jurnalis juga perlu memahami kekerasan berbasis gender, khususnya kekerasan seksual.
Matinya Demokrasi dan Menguatnya Otoritarianisme
Kekerasan
yang dialami jurnalis berbeda dengan kekerasan yang dialami warga biasa.
Pasalnya, kekerasan pada jurnalis adalah simbol pembungkaman. Terbukti
kasus-kasus yang dilaporkan, para jurnalis mengalami tindak kekerasan setelah atau
sedang meliput isu-isu yang sensitif, seperti lingkungan, konflik agraria,
pungli, dan lain sebagainya.
Dari semua
kasus yang ada, masih sedikit kasus yang diproses. Menurut Sekjend AJI, Ika
Ningtyas, penegakan hukum kekerasan terhadap jurnalis masih belum mengacu pada
Undang-Undang Pers. Pada akhirnya, kata Ika, pelaku kekerasan terhadap jurnalis
oleh aktor-aktor negara cenderung berakhir pada impunitas.
“Kami
(Aliansi Jurnalis Independen) mendesak POLRI untuk melakukan reformasi secara
menyeluruh. Penyerangan terhadap kebebasan pers adalah bukti matinya demokrasi
dan menguatnya otoritarianisme rezim penguasa,” jelasnya.
Penulis: Arini Sa'adah
Hasil laporan asli sebelum adanya pengeditan.
Telah tayang di laman dream.co.id