Jejak Kisah Candi Sambisari, Tempat Suci yang Konon Tak Sempat Digunakan Karena Erupsi Merapi
Candi Sambisari yang berada di Kec. Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (Doc. Arin) |
"Tepat di Hari Nyepi, aku seakan masuk ke pintu masa lalu dan menyaksikan nenek moyang kita sedang bahu membahu membangun tempat suci."
Diri ini selalu haus akan sejarah dan kebudayaan. Terutama sejarah dan kisah yang tersembunyi di Yogyakarta. Maklum, aku adalah pendatang yang belum mengerti banyak tentang daerah istimewa ini.
Untuk mengobati dahagaku, aku mengunjungi Candi Sambisari, yang disebut-sebut sebagai 'Rumah Para Dewa'. Tepat di peringatan Hari Nyepi, aku seakan diajak masuk ke pintu masa lalu di mana nenek moyang kita sedang bahu membahu membangun tempat suci.
Sambisari termasuk di Kawasan Siwa Patu, yaitu kawasan peninggalan Hindu-Budha terbesar di Pulau Jawa.
Era Mataram Kuno telah meninggalkan banyak jejak sejarah yang kini jadi bukti nyata peradaban nenek moyang di Pulau Jawa yang adi luhung. Berlatar agama hindu dan budha, semua situs candi di kawasan perbatasan Klaten-Jogja disinyalir ada sekitar pada abad ke-7 masehi.
Cerita tentang Candi Sambisari begitu nyata. Karena khawatir ingatan itu hilang, maka aku menulis apa yang aku dengar hari ini. Sebelumnya, terimakasih kepada Mas Erwin dari Jogja Walking Tour yang telah berbagi pengetahuan tentang sejarah candi yang disebut sebagai 'Rumah Para Dewa' ini.
Langsung saja aku mulai ceritanya!
Candi Sambisari ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang petani setempat pada September 1966. Ya, memang secara tidak sengaja. Ketika itu seorang petani bernama Pak Arjo sedang menggarap lahan persawahan miliknya.
Memang, area yang kini kita saksikan sebagai bangunan candi yang berdiri kokoh ini adalah area persawahan warga. Cangkul Pak Arjo pun mengenai salah satu fragmen batu candi. Karena diduga ada peninggalan bersejarah yang luar biasa, hal ini kemudian dilaporkan ke pihak berwenang. Setelah diteliti, kemudian tanah di kawasan itu dibebaskan oleh pemerintah. Pada tahun yang sama, dilakukan ekskavasi pada 1966.
Penggalian hingga Pemugaran
Candi ini tertimbun letusan gunung merapi yang terjadi secara gradual (bertahap) hingga ratusan tahun. Tertimbun sedalam kurang lebih 6,5 meter. Secara stratigrafi, candi ini tertimbun enam lapisan tanah.
Khawatir batu-batunya rusak, maka penggalian candi ini dilakukan dengan alat sederhana. Tidak boleh pakai alat berat. Setelah melalui proses penggalian dengan penuh hati-hati, candi ini pun dipugar dan dibongkar untuk diteliti.
Pembongkaran dilakukan untuk mencari informasi sejarah dari bebatuan yang dulu disucikan itu. Para peneliti ketika itu seperti anak kecil yang sedang bermain puzzle raksasa. Karena setelah dibongkar, mereka juga harus memasangnya kembali sesuai bentuk aslinya. Maka dari itulah ada tahap yang disebut 'susunan percobaan'.
Candi Sambisari adalah salah satu candi yang digarap oleh anak bangsa sendiri. Berbeda dengan Candi Prambanan dan Candi Borobudur yang digarap pada era kolonial.
Kegiatan penggalian hingga berhasil dipugar itu memakan waktu yang lama, yakni sekitar 20 tahun. Banyak persoalan yang membuat ekskavasi dan pemugaran berlangsung lama. Faktor utamanya adalah kondisi Indonesia yang masih kacau balau akibat kasus berdarah yang melibatkan partai terbesar ketika itu, yaitu PKI.
Kembali ke Candi Sambisari yang membuat mataku tak berkedip. Padahal kali ini bukan pertama kalinya aku ke sini. Tapi rasanya sangat berbeda, karena kali ini seakan aku memasuki sebuah pintu masa yang membawaku ke abad 7 hingga 9 Masehi.
Saat baru memasuki area, wisatawan akan melihat seakan candi ini dibangun di bawah tanah. Karena candi ini terlihat berada menjorok di bawah tanah. Padahal tidak! Tanah asli dari kawasan situs ini ada di area bawah candi. Sementara yang diinjak oleh wisatawan di bagian atas itu adalah tanah hasil proses sedimentasi.
Candi Sambisari mengadopsi bentuk punden berundak-undak. Candi ini memiliki dua pagar yang mengelilinginya. Pagar terdalam bisa kita saksikan secara langsung. Sementara pagar terluar tertimbun tanah sedimentasi.
Mengapa pagar terluar tidak digali? Karena pada saat proses pembebasan lahan, anggaran pemerintah tidak cukup. Jadi pagar terluar tidak digali. Jadi kita hanya bisa menyaksikan bagian sedikit dari pagar terluar ini. Mengingat, kondisi Indonesia pada saat itu masih kacau balau.
Gambar batu tuh (batu gamping) pada pagar terdalam (Doc. Arin). |
Terkubur Tanah Sedimentasi Erupsi Merapi
Tanah sedimentasi yang mengubur Candi Sambisari adalah bukti erupsi merapi yang terjadi secara berulang-ulang. Candi ini menghadap ke arah barat. Sementara gunung Merapi ada di sebelah utara candi. Nenek moyang yang membangun candi ini sudah mengetahui bahwa amukan Merapi bisa melahap tempat suci ini. Maka dari itu, bisa kita lihat bahwa di bagian pintu utara tertutup. Pintu itu ditemukan sudah dalam keadaan tertutup. Rupanya itu adalah strategi nenek moyang kita untuk menghadang aliran lahar dingin Merapi.
Namun ternyata pintu itu tak bisa menghalangi amukan Merapi. Sebab, lahar dari erupsi ternyata tak kehabisan akal. Lahar itu mengalir melalui sungai di sebelah barat laut candi. Kemudian menuju selatan, dan menuju tenggara. Jadi lahar itu masuk melalui pintu selatan. Hal ini bisa kita lihat dari bangunan candi perwara di sebelah selatan yang hancur.
Sementara candi perwara di bagian utara lebih utuh daripada sebelah selatan. Karena bagian selatan menjadi penghalang dari terjangan lahar dingin yang masuk dari pintu selatan.
Nah sungai di dekat area candi bukanlah suatu kebetulan. Nenek moyang jaman dulu memilih tanah yang dekat dengan petirtaan untuk bangunan sebuah candi. Sungai dipercaya sebagai anugerah dari Dewa. Maka bisa kita saksikan bahwa setiap bangunan candi pasti ada petirtaannya. Tujuannya, agar orang bersuci dahulu sebelum masuk area suci ini.
Tempat Suci yang Tak Sempat Digunakan
Candi sambisari diperkirakan dibangun pada abad ke 8 hingga 9 Masehi. Berdasarkan hasil analisa para arkeolog, kemungkinan besar Candi Sambisari belum sempat digunakan untuk sembahyang.
Hal ini disebabkan oleh erupsi merapi. Bukan sekali dua kali, namun berkali-kali hingga pembangunan candi ini diduga belum selesai alias belum diresmikan. Kemudian malah ditinggalkan masyarakat penganutnya.
Hal ini bisa dibuktikan dengan ukiran-ukiran atau relief pada batu candi perwara yang masih belum sempurna. Bahkan pada bagian pintu candi utama masih belum ada reliefnya. Jika Anda mengunjungi Candi Sambisari, Anda bisa melihat sendiri bahwa relief-nya pun tidak merata dan seakan memberitahu kita bahwa candi ini belum selesai dibangun.
Selain itu, temuan-temuan lain diperkirakan juga masih ada dan tersebar di area pemukiman warga sebelah tenggara. Namun hal tidak bisa dilakukan penggalian karena lagi-lagi anggaran dana untuk kebudayaan sangat minim sekali.
Bagaimana nenek moyang kita membangun candi?
Bangunan yang terkait dengan agama Hindu dan Budha biasa disebut candi. Padahal di India, yang dikenal sebagai asal ajaran Hindu-Budha, tidak mengenal istilah candi.
Ternyata, istilah candi berasal dari kata candika ghra yakni nama dewi kematian. Hasil konsensus para ahli, semua penyebutan untuk peninggalan tempat suci hindu-budha disebut candi.
Padahal, Hindu-Budha berasal dari India. Tetapi disana tidak ada penamaan candi untuk bangunan suci. Bahkan tidak ditemukan kata candi di situs suci kawasan India. Mereka menyebutnya mandir atau kuil. Hanya di Jawa, penyebutan candi ini ditemukan.
Bahkan di Sumatera pun tidak ada penyebutan candi untuk bangunan suci. Arsitektur candi di Jawa pun berbeda dengan India. Konsep pembangunan situs suci di Jawa ternyata juga tidak sama dengan India.
Ciri khas candi di Jawa itu mirip punden berundak-undak. Pusatnya ada di tengah yang dikelilingi oleh pagar. Sementara di India tidak seperti itu.
Selain itu, hanya ada satu dewa yang dipuja pada satu tempat suci. Sementara di Jawa, satu tempat suci terdapat banyak simbol dewa-dewi. Tak hanya Siwa, tetapi juga ada simbol-simbol dewa yang lain.
Ini membuktikan bahwa nenek moyang jaman dulu tidak menelan mentah-mentah agama yang datang dari luar. Tetapi tetap disesuaikan dengan filosofi kebudayaan lokal.
Pendirian tempat suci pun tidak mudah. Ada banyak syarat yang harus dipenuhi. Brahmana akan bertapa untuk mencari tempat yang sakral. Saat tanah ditemukan, harus ada pengecekan untuk melihat apakah tanah itu bagus atau tidak.
Misalnya dengan membuat galian lalu diisi air dan dibiarkan hingga 24 jam. Hal ini untuk melihat daya resapan tanah tersebut. Jika air cepat meresap, maka tanah itu tidak cocok dijadikan bangunan candi. Sebab tanahnya pasti berongga dan tidak bagus untuk menopang bangunan candi yang besar. Selain itu masih banyak syarat yang bahkan aku pun sudah lupa.
Perbedaan Teologi Hindu-Budha Jawa Tengah dan Jawa Timur
Improvisasi konsep teologi agama Hindu-Budha ternyata tak hanya berhenti di situ. Bangunan candi di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur saja ternyata sudah berbeda.
Rupanya semakin ke timur, improvisasinya semakin tinggi. Contoh, di Jawa timur banyak perwujudan arca dari para raja/prabu. Hal ini hanya ada di jawa timur. Sementara di Jawa Tengah dan Jogja tidak ditemukan penggambaran raja atau prabu pada candi. Hal ini karena pada masa pembangunan candi di Jawa Tengah, masyarakat masih patuh pada ajaran yang datang dari India itu. Sementara ketika ajaran itu sampai di Jawa Timur, telah mengalami penambahan konsep teologi.
Bahkan agama Hindu di Bali pun juga sangat berbeda dengan India.
Titik Sakral Tempat Semua Dewa Bersemayam
Pada setiap bangunan candi pasti ada titik sakralnya. Tetapi, titik sakral itu tidak selalu berada di tengah. Pada kasus Candi Sambisari, titik sakral berada di sisi kiri tangga naik candi utama.
Kita bisa menyaksikan, pintu masuk candi utamanya tidak sejajar dengan pintu masuk pagar. Tetapi malah sejajar dengan titik sakral itu.
Sebagai penanda titik sakral ini ditanamkan sebuah batu pripih (batu berbentuk kotak). Titik sakral ini dijadikan sebagai tempat bersemayam para dewa. Sebab, para Dewa diundang hadir pada prosesi upacara suci.
Berlatar Agama Hindu Siwaistik
Jika kita naik ke area candi, maka akan akan terlihat sebuah lingga-yoni yang berada di tengah-tengah bangunan. Itu melambangkan bahwa Candi Sambisari berlatar agama 'Hindu Siwaistik'. Bangunan di bagian tengah-tengah candi itu disebut Garba Grha. Yang mana didalamnya tersimpan lingga-yoni sebagai perwujudan aspek feminin dan maskulin. Aspek feminin disimbolkan oleh Dewi Parwati (istri Dewa Siwa). Sementara maskulinitasnya disimbolkan dari Dewa Siwa itu sendiri.
Pada candi ini, Dewa Siwa tidak digambarkan secara antrokomortip. Tetapi hanya simbol lingga-yoni.
Lingga-yoni ini tampak disangga ular. Sementara di kepala ular ada kura-kura. Air yang keluar dari prosesi penyiraman lingga-yoni ini adalah air suci yang nanti dibagikan ke umat.
Anda juga bisa melihat ada dua relung di samping kanan dan kiri Garba Grha. Di dalam relung itu sebenarnya ada arca. Tapi saat dilakukan pemugaran malah dicuri orang.
Sebenarnya masih banyak hal luar biasa nan filosofis yang tak tercatat dalam tulisan ini. Mengingat kemampuanku yang terbatas untuk mengingat dan memahami penjelasan.
Jadi tulisan ini bukan sebagai REFERENSI. Melainkan hanya sebatas catatan perjalanan yang mungkin saja banyak kesalahan penyebutan. Tapi cukup untuk mengobati rasa hausku akan sejarah kehidupan masa lampau. Dan aku hanya ternganga sepanjang perjalanan tour kali ini.
Yogyakarta, 22 Maret 2023
Rahajeng Rahina Nyepi Tahun Caka 1945.
Ditulis oleh Arini Sa'adah (Instagram@arn_sailess)