Selamat Kepada Sahabat! Yunda, Sila Coba Lagi
Pahami beberapa pedoman di bawah ini sebelum membaca: Pertama, tulisan ini tidak berharap dibaca. Bahkan, bisa jadi, tidak layak dibaca kar...
Pahami beberapa pedoman di bawah ini sebelum membaca:
Pertama, tulisan ini tidak berharap dibaca. Bahkan, bisa jadi, tidak layak dibaca karena susunannya kacau.
Kedua, santailah saat membaca tulisan ini yang jelek saja belum. Jangan fanatik, marai utek jendhel.
Ketiga, jika ingin lanjut membaca, silakan. Kalau tidak, segera tutup laman ini.
Keempat, coba pikir lagi sebelum membaca. Mumpung urung kadung. Pastikan Anda suka dan rela serta tidak ada paksaan untuk membacanya.
Jika sudah paham, mari membaca sembari berimajinasi.
Beginilah tulisan yang tidak penting
Sebuah perhelatan akbar, pesta demokrasi, telah selesai dilaksanakan di Republik Mahasiswa (RM) IAIN Ponorogo pada 13 Februari hingga 7 Maret 2023. Di sana, acara itu bernama Kongres dan sudah tujuh kali dilaksanakan.
Saya, khususnya, dan mahasiswa IAIN Ponorogo pada umumnya, pasti tahu bahwa kongres bukanlah acara yang remeh-temeh. Sehingga, diperlukan kerja keras agar dapat terlaksana dengan baik.
Maka, atas terlaksananya acara tersebut, saya secara khusus ingin menulis beberapa ucapan kepada pihak-pihak yang sudah terlibat.
Pertama, kepada sahabat-sahabat, para panitia yang sudah berkecimpung, saya ucapkan, ”Terima kasih atas dedikasi kalian sehingga Kongres VII dapat terlaksana. Semoga lelah kalian menjadi lillah.”
Tentu saja, terselenggaranya acara tidak terlepas dari andil besar mereka, khususnya Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) dan Badan Pengawas Pemira (Bawasra).
Tidak lain, merekalah sahabat-sahabat yang rela meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan sebagainya demi suksesnya acara tersebut. Tiada yang bisa saya berikan kecuali ungkapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya.
Kedua, kepada sahabat-sahabat yang terpilih, saya ucapkan, “Selamat! Ingat, amanah tidak salah memilih pundak. Jalankan tugas dengan sebaik-baiknya.”
Saya menaruh optimisme kepada sahabat-sahabat terpilih. Terkhusus, kepada sahabat yang terpilih menjadi Senat Mahasiswa Institut (SEMA I) dan ketua serta wakil Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA I). Ya, mereka itu dancuk atau komandan pucuk.
Artinya, merekalah pemegang jabatan tertinggi di RM IAIN Ponorogo. Gerak-gerik mereka tentu akan berdampak besar. Kita patut berharap bahwa kepemimpinannya dapat membawa perubahan yang lebih baik lagi. Apalagi, mereka berasal dari latar belakang yang sama. Pastilah di antara mereka sudah tercipta chemistry yang baik.
Ketiga, kepada sahabat-sahabat yang belum terpilih, saya ucapkan, “Jangan berkecil hati. Teruslah berproses untuk mengasah diri.”
Saya sedikit tahu bagaimana rasanya tersingkir. Memang, cukup getir dan kecewa. Kadang, kita merasa menjadi orang yang gagal. Tetapi tidak mengapa.
Yakinlah bahwa kegagalan itu adalah bentuk peringatan lain agar kita senantiasa mau mengasah diri. Toh, menjadi ketua bukanlah satu-satunya puncak pencapaian, bukan? Masih banyak jalan lain menuju sukses versi dirimu sendiri. Semangat!
Keempat, khusus kepada yunda, seorang perempuan yang belum lolos seleksi menjadi calon ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), saya ucapkan, “Coba lagi! Semangat terus! Kesempatanmu masih banyak dan prosesmu masih panjang.”
Meskipun belum lolos, setidaknya, yunda sudah berani mencoba. Kegigihanmu mengingatkan saya kepada yunda lain beberapa tahun silam.
Tepatnya pada Kongres V, ia juga ingin mencalonkan diri sebagai ketua HMJ. Sayangnya, ia menuai kendala karena persyaratannya tidak diloloskan KPUM Fakultas. Hal itu dianggapnya kontroversial, kemudian, ia pun menggugatnya sampai mengadakan banding. Akhirnya, ia berhasil menjadi calon ketua. Tetapi, ia tidak terpilih. Salut, setidaknya ia sudah berjuang demi apa yang menjadi haknya.
Terakhir, saya berpesan pada sahabat-sahabat yang sebenarnya peduli dengan demokrasi kampus tetapi tidak bisa berbuat banyak, termasuk juga saya di dalamnya. Begini pesannya, “Tetaplah optimis meskipun sulit. Suatu saat, entah kapan datangnya, akan ada suatu perubahan.”
Ya, saya akui, saya termasuk golongan yang bosan dengan demokrasi di kampus, khususnya saat kongres. Dari perbincangan dengan beberapa sahabat, saya tahu penyebab kebosanan mereka.
Ada yang bosan karena selalu ada kotak kosong, ada yang karena terkesan tertutup tanpa banyak melibatkan mahasiswa, ada yang karena buruknya penyampaian informasi, ada yang merasa janggal saat pemilihan daring karena akunnya tiba-tiba sudah memilih, dan berbagai alasan lainnya. Alasan saya pun mirip-mirip dengan mereka. Ada kabar burung bahwa munculnya calon-calon itu sebenarnya sudah direncanakan. Bagai api disiram minyak, kabar yang belum tentu benarnya itu menambah kebosanan saja.
Meskipun begitu, sebenarnya, mereka tetaplah peduli dengan demokrasi di kampus. Tetapi, lagi-lagi, mereka tidak bisa berbuat banyak. Sehingga, mereka memilih untuk tidak memilih. Bukankah tidak memilih adalah pilihan, kan?
Beginilah tulisan paling tidak penting dari yang tidak penting
Ada sebuah miniatur negara yang menganut sistem demokrasi. Di sana yang katanya demokrasi, tapi hanya satu warna. Di sana yang katanya pesta demokrasi, tapi dinikmati sendiri.
Demokrasi masa gitu? Bukankah demokrasi itu seharusnya ada banyak warna, ya? Tidak hanya biru, tetapi juga hijau, kuning, merah, dan warna-warna lainnya. Semua warna itu sama dan diakui. Demokrasi itu seperti pelangi, akan indah jika biru tidak hanya bersanding kuning, tetapi juga merah, jingga, hijau, nila, ungu.
Sejauh yang saya ingat, kali pertama tahu demokrasi adalah saat masih kelas empat SD dalam pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Waktu itu, guru saya menjelaskan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Beliau juga menjelaskan bahwa demokrasi sangat menjunjung tinggi hak warga negara.
Meskipun belum paham betul apa yang beliau sampaikan, tetapi saya cukup ingat karena gaya menjelaskannya yang unik. Kemudian, beliau juga mencontohkan perilaku sehari-hari yang mencerminkan sikap demokrasi, yaitu saling menolong. Kemudian, beliau bertanya kurang lebih begini, “Bayangkan kamu memiliki mobil. Kemudian, ada orang kecelakaan dan kebetulan kamu sedang lewat saat mengendarai mobil. Bolehkah mobilmu ditumpangi orang itu untuk mengantarnya berobat?”
Hanya beberapa murid yang bisa menjawabnya. Jelas, kebanyakan dari kami kebingungan. Lha wong membayangkan punya mobil saja susah, apalagi harus menolong orang menggunakan mobilnya. Akhirnya, pertanyaan itu dijadikan PR dan harus ditanyakan kepada orang tua masing-masing. Seminggu setelahnya, kebanyakan dari kami sudah bisa menjawabnya. “Mobilnya boleh digunakan untuk menolong orang itu,” secara garis besar, begitulah jawabannya
Perihal demokrasi masih terus saya dapatkan di sekolah menengah pertama, menengah atas, sampai perguruan tinggi. Di semua tingkat itu, hampir tidak ada yang menentang sistem demokrasi. Sangat banyak yang menyepakati bahwa demokrasi adalah sebaik-baik sistem pemerintahan. Tidak lain, karena di negara demokrasi, semua orang mendapatkan hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara.
Sampai akhirnya, saya mendapat informasi baru tentang demokrasi dalam buku karya Noam Chomsky berjudul Politik Kuasa Media yang menyitir Teori Demokrasi Progresif oleh Walter Lippman. Disebutkan bahwa dalam keadaan di mana demokrasi berjalan dengan baik selalu terdapat kelas masyarakat.
Pertama, kelas masyarakat yang memegang peran aktif, yaitu kelas para ahli, termasuk penguasa. Merekalah yang melaksanakan, mengambil keputusan, dan menjalankan segala hal dalam politik. Secara persentase, golongan pertama itu sedikit jumlahnya. Kedua, kelas masyarakat yang secara persentase sangat banyak jumlahnya dan hanya sebagai penonton. Oleh Lippman, golongan kedua itu ditasbihkan sebagai ‘kawanan pandir’.
Di alam demokrasi, golongan kedua itu sesekali diizinkan untuk meminjamkan kekuatannya kepada salah satu kelas para ahli melalui serangkaian tata cara yang disebut Pemilu. Setelah itu, mereka harus kembali mundur dan menjadi penonton lagi. Begitulah keadaan dimana demokrasi berjalan dengan baik.
Hal itu tentu ada logikanya, yaitu publik terlalu bodoh untuk memahami sesuatu. Akan timbul berbagai masalah jika mereka mencoba mengatur urusannya sendiri. Sehingga, para penguasa yang dipilih melalui pemilu itulah yang mengatur urusan mereka. Perlu dicatat, dibalik itu semua ada hal-hal yang tidak boleh diungkap, seperti yang berkaitan dengan bagaimana para penguasa itu mendapatkan posisi atau menentukan kebijakan.
“Hoalah, jibangan, jibangan. Kuda sak dokarnya!” Pantas saja saya selalu pusing saat mencoba memahami demokrasi di miniatur negara itu. Lha wong demokrasi yang diterapkan di sana sebagaimana teori Lippman, bukan macam yang saya dapatkan sebelumnya. Ya, sudah tepat sih kalau saat pesta demokrasi tidak banyak melibatkan peran mahasiswa pada umumnya. Mereka tak lebih dari ‘kaum pandir’ juga penonton yang dipinjam kekuatannya agar segelintir orang itu bisa melegitimasi kekuasaannya. Dengan begitu, selamat orang-orang terpilih, Andalah dancuknya. Semoga langgeng dan bahagia.
~Selamat, Anda sudah menghabiskan beberapa menit untuk membacanya. Akan lebih banyak waktu yang hilang jika Anda menggubrisnya.~
Penulis: Hanifa Faizul