Bagi Kita yang Berbudaya Patriarki
Sumber: ITS News Paweling.Com -Membicarakan soal Feminisme, saya teringat ketika sedang membaca buku dari Hersri Setiawan yang berjudul ” Aw...
Sumber: ITS News |
Paweling.Com-Membicarakan soal Feminisme, saya teringat ketika sedang membaca buku dari Hersri Setiawan yang berjudul ”Awan Theklek Bengi Lemek”, ia bercerita tentang perempuan. Baginya, perjuangan emansipasi tak sebatas gerakan sosio-kultural, tetapi bagaimana cara untuk bisa berjalan bersama kaum laki-laki untuk memperbaiki sistem dan hubungan kemasyarakatan, serta pembagian industri.
Hukum kodrat yang kita pahami seakan rancu dalam penafsiran. Memang, kita telah mengetahui bahwa perempuan berbeda dengan laki-laki dalam konsep biologis. Senada dengan pernyataan itu, Juliet Mitchell, seorang tokoh Psikoanalisis dan Feminis sosialis Inggris mengatakan, “penyebab perempuan selalu diasingkan adalah karena perbedaan anatomi antara laki laki dan perempuan, yang turut berpengaruh pada konsepsi sosialnya.”
Tetapi ”menjadi manusia” justru ada karena ia adalah Zoon Politicon dalam kehidupan bermasyarakat, yang itu pula merupakan keharusan kodrati. Ada argumen yang menyatakan bahwa ketika menempatkan perempuan di posisi yang vokal, malah menjadikannya tak bisa rasional dan ideal. Konsep ini sering dibawakan oleh kaum anti-Feminis. Terlebih juga hal ini tak mencerminkan adat ketimuran.
Hersri menuturkan bahwa, perempuan selalu termarjinalkan pada kancah untuk memperoleh hak dan kewajibannya yang semestinya didapatkan, terkhusus pada akses pendidikan, kerja, dan posisi publik. Ada persoalan yang menjadi muara akan kondisi ini, sebut saja sebagai First Reason. Pemahaman akan Feminisme berbelok arah barangkali bagi sebagian manusia. Perlu dicatat bahwa ide pokok Feminisme terletak pada perjuangan kelas, bagaimana perempuan mencoba menempatkan dirinya pada kondisi yang terhormat dan setara dalam memperoleh haknya sebagai manusia publik. Namun, bagi sebagian kelompok, gerakan seperti ini dianggap sebagai langkah pembangkangan terhadap sistem sosial. Nah, di sinilah persoalan itu muncul. Pemimpin (yang didominasi laki-laki), sebagai orang yang memiliki pengaruh dan legitimasi kuat atas perempuan, mencoba untuk meruntuhkan iktikat baru ini, dengan melalui berbagai siasat dan metode variatif agar kedudukannya tak tergoyahkan.
Revolusi Sebagai Penindasan
Kita sepakat bahwa manusia selalu bertransformasi dari masa ke masa. Revolusi industri diartikan sebagai peralihan kerja manual kepada kekuatan mesin, kerja-kerja mesin dibangun dengan pengaruh dari para borjuis yang mencoba untuk menghasilkan profit yang lebih menguntungkan dan membantu kehidupan manusia.
Revolusi Industri tak hanya menyentuh roda ekonomi dan teknologi, tapi juga merajut ulang pola sosial yang telah tertanam dalam masyarakat selama berabad-abad. Salah satu perubahan yang paling mencolok adalah transformasi dalam pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan. Sebelum revolusi industri, masyarakat cenderung memegang teguh konsep bahwa laki-laki seharusnya bekerja di ranah publik, sementara perempuan terpaku pada urusan domestik semata.
Namun, datangnya era industri membawa perubahan radikal. Pabrik-pabrik, mesin-mesin, dan perkembangan ekonomi yang pesat mengubah lanskap pekerjaan secara dramatis. Laki-laki yang sebelumnya menghabiskan waktu di ladang atau atelir keluarga kini mengalihkan perhatian mereka ke pabrik-pabrik yang berdiri megah di tengah kota-kota industri. Mereka menjadi buruh pabrik, teknisi, insinyur, atau bahkan manajer.
Sementara itu, perubahan ini juga menggugah kesadaran akan potensi perempuan dalam dunia kerja. Meskipun pandangan patriarki masih melekat kuat, para perempuan kelas pekerja mulai melangkah keluar dari rumah-rumah mereka untuk mencari pekerjaan di pabrik-pabrik. Mereka mungkin mulai sebagai buruh biasa, tetapi semangat dan ketekunan mereka membuka jalan bagi wanita-wanita lain untuk memasuki dunia kerja yang sebelumnya dianggap eksklusif bagi lelaki.
Pola tradisional yang telah ada selama berabad-abad mulai mengalami goncangan. Laki-laki tidak lagi hanya menjadi penopang ekonomi keluarga, dan wanita tidak lagi terbatas pada peran domestik semata. Perubahan ini tidak hanya menciptakan pergeseran dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga membuka jalan bagi perubahan dalam norma-norma sosial dan nilai-nilai yang terpatri dalam masyarakat.
Tentu saja, perubahan ini tidak datang tanpa gesekan. Banyak yang menentang ide perempuan untuk bekerja di luar rumah, mereka merasa bahwa itu akan mengganggu keseimbangan alamiah yang telah ditetapkan. Namun, semakin banyak perempuan yang membuktikan kemampuan dan kontribusi mereka di tempat kerja, sehingga membuat terbukanya peluang dan perubahan paradigma dalam masyarakat.
Dengan demikian, revolusi industri tidak hanya mengubah wajah ekonomi dan teknologi, tetapi juga membentuk ulang pola-pola sosial yang telah ada selama berabad-abad. Perubahan dalam pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan adalah salah satu contoh paling jelas bagaimana transformasi dalam dunia kerja dapat merambah ke dalam struktur masyarakat secara keseluruhan.
Membudayakan Patriarki
Mari kita menelusuri jejak sejarah untuk memahami bagaimana kebudayaan telah membentuk dan memperkuat pemikiran patriarki dalam masyarakat. Pemikiran patriarki, atau dominasi laki-laki dalam struktur kekuasaan dan sosial, telah merajalela di banyak masyarakat sepanjang sejarah manusia. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi tumbuhnya pemikiran patriarki adalah budaya. Budaya adalah kumpulan nilai-nilai, norma, tradisi, dan kepercayaan yang dilestarikan dan ditransmisikan dari generasi ke generasi.
Pada awalnya, saat manusia hidup dalam kelompok-kelompok kecil sebagai pemburu-pengumpul, peran gender mungkin tidak terlalu kaku. Namun, seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia dan munculnya pertanian serta permukiman tetap, pola-pola sosial mulai terbentuk. Dalam banyak kebudayaan, terutama yang menganut sistem agraris, pembagian tugas berdasarkan jenis kelamin mulai muncul. Laki-laki sering kali ditempatkan pada peran sebagai pemburu atau petani, sedangkan perempuan dianggap lebih cocok untuk urusan domestik seperti merawat anak, memasak, dan mengurus rumah tangga. Ini bukanlah kebetulan semata, tetapi sebuah hasil dari pertimbangan praktis dalam menghadapi tuntutan kehidupan sehari-hari.
Namun, seiring waktu, perbedaan dalam peran-peran ini tidak hanya berhenti pada tingkat praktis, tetapi juga menjadi semacam alat untuk memperkuat struktur kekuasaan. Laki-laki, dengan peran mereka yang dominan dalam aktivitas publik seperti pertanian atau perdagangan, mulai memegang kendali atas sumber daya dan keputusan penting dalam masyarakat. Di sisi lain, perempuan, terikat dalam peran domestik, seringkali memiliki akses yang lebih terbatas terhadap kekuasaan dan sumber daya.
Perlahan tapi pasti, pola-pola ini memperkuat pemikiran bahwa laki-laki lebih berhak untuk memegang kendali dan mengambil keputusan, sementara perempuan seharusnya tunduk pada otoritas laki-laki. Kepercayaan ini diperkuat oleh budaya, melalui cerita-cerita, mitos, agama, dan bahkan hukum yang menegaskan hierarki gender. Misalnya, banyak agama-agama dunia memiliki ajaran yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin spiritual atau otoritas keagamaan yang dianggap lebih tinggi, sementara perempuan sering ditempatkan dalam peran pendamping atau pengikut. Begitu pula dalam literatur dan seni, di mana gambaran ideal dari keperkasaan dan kekuasaan seringkali diasosiasikan dengan figur laki-laki.
Dengan demikian, melalui proses ini, kebudayaan telah menjadi salah satu pendorong utama dalam pembentukan dan penguatan pemikiran patriarki dalam masyarakat. Hal ini telah mengakar dalam struktur sosial, nilai-nilai, dan norma-norma yang diterima secara luas, dan mempengaruhi cara pandang dan perilaku individu-individu dalam masyarakat tersebut.
Campur Tangan Agama dalam Membentuk Budaya
Agama seringkali memainkan peran kunci dalam membentuk nilai-nilai, norma-norma, dan struktur sosial dalam masyarakat. Dalam banyak budaya, agama-agama tertentu telah menjadi landasan bagi pemikiran patriarki yang menguatkan hierarki gender yang menempatkan laki-laki di atas wanita. Untuk menjelaskan dampak agama dalam tumbuhnya pemikiran patriarki, mari kita telusuri peran beberapa agama utama dalam sejarah:
1. Agama-agama Abrahamik. Agama-agama seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, yang berakar dari tradisi Abrahamik, seringkali memegang pandangan yang menekankan peran laki-laki dalam kepemimpinan dan kekuasaan. Misalnya, dalam Alkitab, banyak catatan tentang pemimpin laki-laki yang dianggap sebagai perantara antara umat manusia dan Tuhan. Hal ini menciptakan paradigma di mana laki-laki dipandang sebagai figur yang lebih sesuai untuk posisi otoritas, sementara peran perempuan cenderung lebih terbatas dalam ruang domestik.
2. Hinduisme. Dalam banyak aspek, Hinduisme juga mencerminkan pandangan patriarkal di mana laki-laki dianggap memiliki peran yang lebih dominan dalam masyarakat. Konsep karma dan reinkarnasi seringkali diinterpretasikan untuk menguatkan hierarki gender, dengan laki-laki dianggap memiliki akses yang lebih besar terhadap kesempatan untuk mencapai pencerahan atau kasta yang lebih tinggi.
3. Budhisme: Meskipun agama Buddha menekankan pada kesetaraan semua makhluk hidup, dalam praktiknya, terdapat perbedaan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan. Di beberapa tradisi Buddha, perempuan dilarang menjadi biksu (biarawati) atau memiliki peran yang signifikan dalam kepemimpinan keagamaan. Hal ini mencerminkan budaya patriarki yang telah ada dalam masyarakat saat itu.
Dalam masing-masing agama tersebut, terdapat teks-teks suci, tradisi, dan interpretasi yang telah memperkuat struktur patriarki dalam masyarakat. Pemikiran ini mempengaruhi segala aspek kehidupan, mulai dari hak kepemilikan, hingga peran dalam keluarga dan masyarakat, hingga akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Pemikiran patriarki yang didorong oleh agama sering kali menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya dan tradisi, sulit untuk diubah atau digugat dalam masyarakat yang sangat terpengaruh oleh nilai-nilai agama tersebut.
Namun, penting untuk dicatat bahwa pemahaman terhadap ajaran agama dapat berkembang dan berubah seiring waktu. Banyak komunitas dan individu yang sedang berjuang untuk merekonstruksi interpretasi agama yang lebih inklusif dan kesetaraan gender, seperti konsep mubadalah dalam Islam. Meskipun tantangannya besar, upaya ini menjadi penting dalam meruntuhkan struktur patriarki yang telah lama mengakar dalam masyarakat yang didasarkan pada nilai-nilai agama.
Sebagai penutup, saya mengajak untuk kita bisa menelaah feminisme lebih kompleks lagi, beberapa pemaparan di atas alangkah lebih baik disikapi sebagai pranala pemahaman baru bagaimana sejarah dari berkembangnya patriarki tumbuh dan subur dibenak setiap manusia. Tali simpul dari masalah ini ialah usaha kita untuk mencari titik temu solusi untuk menuntaskan permasalahan ini agar tak berkelanjutan kelak. Langkah awal bagi kita adalah pemurnian pikiran akan kesetaraan antar manusia, tidak ada yang lebih unggul di antaranya. Semua sama dalam pemenuhan hak dan kewajiban hidup tanpa ada penyekat pemisah yang menjembatani.
Penulis: Ady Vandea