Martabat Bahasa Indonesia di Lidah Bangsa Bermental Poskolonial

Sumber: kompas.id Paweling.Com -Dewasa ini, masyarakat penutur bahasa Indonesia cenderung meyakini bahwa bahasa asing lebih adiluhung diband...

Sumber: kompas.id

Paweling.Com-Dewasa ini, masyarakat penutur bahasa Indonesia cenderung meyakini bahwa bahasa asing lebih adiluhung dibandingkan bahasa nasional mereka sendiri. Berbagai markah yang bertebaran di ruang-ruang publik—baik di ruang nyata maupun maya—seperti perintah untuk menarik dan mendorong pintu (pull dan push) di toko komersial atau pusat-pusat perbelanjaan, imbauan untuk membayar secara tunai di tempat atau lebih karib ditulis cash on dellivery di laman niaga-el, perintah memindai kode batang atau jamak dikenal scan barcode hanyalah segelintir paradigma masyarakat dalam pemakaian bahasa Indonesia yang ironis. Berbagai fenomena kebahasaan di ruang publik tersebut mengesankan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang kurang memadai untuk mengistilahkan sesuatu hal.

Secara sederhana, ruang publik atau yang sering dikenal dengan public space dapat kita definisikan sebagai tempat atau ruang, di mana masyarakat secara luas menjalankan berbagai aktivitas dan/atau berinteraksi satu dengan yang lain. Jenis ruang publik pun terbilang beragam, antara lain pusat-pusat belanja, lembaga pendidikan, kantor pemerintahan, alun-alun kota, taman, dan lain sebagainya. Dalam konteks pemartabatan bahasa Indonesia, ruang publik kini menjadi lahan percaturan kontestasi antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing.

Segala fenomena yang telah dipaparkan di atas setidaknya menunjukkan bahwa pola pikir masyarakat penutur bahasa Indonesia mulai tersungkup oleh bahasa asing. Tersungkupnya alam pikiran masyarakat penutur bahasa sebetulnya tidak hanya menjadi gejala sosial di dalam bahasa Indonesia. Hal ini ditengarai oleh banyak faktor, terutama, adanya situasi kontak yang menjadi keniscayaan sebab gempuran era disrupsi. Situasi yang demikian ini, jika terus-menerus dibiarkan tanpa adanya sikap yang tegas untuk menegakkan martabat bahasa Indonesia, bukan tidak mungkin akan melahirkan marjinalisasi terhadap bahasa Indonesia itu sendiri.

Di tengah derasnya arus kontak antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing di ruang publik, menegakkan martabat bahasa Indonesia menjadi upaya yang penting digencarkan. Terutama, di kota-kota kontemporer di mana situasi tutur yang multilingual relatif lebih masif. Meski demikian, fenomena yang sama, yang terjadi di ruang publik maya, tidak lanats dapat diabaikan begitu saja. Dalam perkembangannya, kedua wilayah tersebut menjelma lanskap linguistik di mana situasi kebahasaan yang beragam ditampilkan sekaligus diperebutkan. Gorter menyebut, lanskap linguistik berkontribusi pada konstruksi konteks sosiolinguistik karena orang memroses informasi visual yang  datang kepada mereka. Pada saat yang sama, pemarjinalan terjadi sebab bahasa di mana tanda ditulis dapat memengaruhi persepsi status bahasa yang berbeda dan memengaruhi perilaku linguistik.

Menegakkan kembali martabat bahasa Indonesia di ruang-ruang publik tentu saja tidak semudah mengetuk palu persidangan. Namun, upaya tersebut juga bukanlah sekadar angan-angan kosong yang muhal diaktualisasikan, dengan catatan, seluruh elemen masyarakat dari mulai lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tokoh-tokoh  masyarakat seperti pemuka  agama,  generasi  muda, sampai lapisan akar-rumput lainnya turut berkontribusi. Sebuah upaya memberdayakan masyarakat penutur bahasa Indonesia menjadi penutur bahasa Indonesia yang bermartabat tidak akan tercapai, manakala tidak diiringi dengan prinsip kerja sama dan partisipasi yang solid, baik dari pihak yang menginisiasi maupun pihak yang menjadi sasaran itu sendiri. Jika kesadaran akan pentingnya pemartabatan bahasa Indonesia di ruang publik dimiliki oleh segenap elemen masyarakat dari lapisan atas sampai bawah, maka akan terwujud sebuah gugur-gunung nasional yang dapat dimaknai sebagai sumbangsih demi mencapai hajat bersama tersebut.

Pada dasarnya, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 sendiri telah mengatur kedudukan bahasa Indonesia bersama dengan bendera, lambang negara, serta lagu kebangsaan sebagai sarana pemersatu bangsa, identitas, dan kedaulatan Negara Republik Indonesia.  Secara spesifik, penggunaan bahasa Indonesia di ranah publik dirincikan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 pasal 36 ayat 1, 37 ayat 1, 38 ayat 1, dan 39 ayat 1. Pasal 36 ayat 1 misalnya, menyebutkan secara tegas bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen  atau pemukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau yang dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Dengan ketegasan yang sama, pasal 37 ayat 1 menyatakan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia. Selanjutnya, pasal 38 ayat 1 dan 39 ayat 1 pun menjelaskan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum, serta berbagai informasi di media massa. Adapun penggunaan bahasa daerah disusul kemudian bahasa asing, baru boleh digunakan apabila terdapat konteks yang secara jelas melatarbelakangi penggunaannya, seperti nilai sejarah, budaya, adat-istiadat, keagamaan, dan keperluan, tujuan, atau menyangkut sasaran yang sifatnya khusus.

Kendati penggunaan bahasa Indonesia di ruang-ruang publik telah diatur sedemikian rinci sebagaimana telah dijabarkan di atas, fakta di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya. Betapa masih banyak masyarakat penutur bahasa Indonesia yang tidak tertib dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan baik di ruang publik. Kita dapat melihatnya pada berbagai wujud penjenamaan menggunakan bahasa asing pada berbagai luaran komersial, markah jalan atau papan-papan reklame. Dari hal-hal ini, yang kemudian tampil sebagai kesan adalah, adanya penilaian bias, bahwa ketika produk-produk tersebut akan lebih menjual ketika dinamai menggunakan bahasa asing alih-alih bahasa Indonesia. Ketidaktertiban tersebut adalah indikasi yang kuat tentang rendahnya kompetensi dan kesadaran masyarakat kita sebagai pengguna bahasa Indonesia, yang, ‘bermartabat’.  Oleh sebab itu, selain pentingnya kesadaran dari segenap elemen masyarakat untuk mengaktualisasikan pemartabatan bahasa Indonesia di ruang publik, dibutuhkan juga sebuah ketegasan hukum. Kedua hal tersebut merupakan dua aspek yang memiliki hubungan resiprokal. Kesadaran akan terbentuk seiring dengan adanya sebuah ketegasan dalam menegakkan hukum yang telah ditetapkan. Demikian halnya hukum akan bisa ditegakkan ketika kesadaran masyarakat berangsur terbentuk.

Sejalan dengan kesadaran dan ketegasan hukum, pemutakhiran dalam pengindonesiaan istilah asing juga menjadi faktor yang penting untuk disoroti. Kita tentu tahu, sejauh ini, pengindonesiaan berbagai istilah asing sebenarnya sudah gencar dilakukan. Mulai yang sering kita dengar seperti smartphone menjadi “telepon pintar” atau gadget menjadi “gawai”, hingga yang asing ditelinga sekaliber mouse menjadi “tetikus”, effective menjadi “mangkus” dan efficient menjadi “sangkil”. Seluruhnya menyiratkan bahwa ikhtiar memberdayagunakan bahasa Indonesia bukanlah omong-kosong. Kendati demikian, pemakaian berbagai istilah asing yang sudah ditetapkan padanan katanya itu, sejauh ini terkesan masih dijalankan setengah hati. Diakui atau tidak, beberapa padanan kata asing memang kadang terkesan belum mampu mewakili makna yang dikehendaki. Di sisi yang sama, kita memanggul tuntutan untuk menjadi penutur bahasa Indonesia yang baik, yang bermartabat.

Kata mangkus dan sangkil sebagai padanan kata asing dari effective dan efficient misalnya, cenderung tidak laku dibandingkan dengan serapan langsung dari kedua kata asing tersebut, yaitu efektif dan efisien. Pun kita lebih merasa nyaman menggunakan kata efektivitas atau efisiensi alih-alih kemangkusan atau kesangkilan. Sangat mungkin, ini terjadi sebab keduanya dirasa lebih mewakili makna yang hendak ditegaskan oleh penutur bersangkutan. Kata “tetikus” sebagai padanan kata mouse tentu saja tidak akan digunakan oleh sebuah toko yang menjual piranti komputer sebab secara ekonomis, kata tersebut tak karib di telinga masyarakat penutur bahasa Indonesia. Alih-alih penyebutan itu membuat dagangan mereka laku, yang terjadi justru mungkin sebaliknya. Nasib yang lebih mujur berlaku pada kata “fail” sebagai padanan kata dari file. Kata ini, relatif lebih lazim dipakai jika dibanding saudaranya, tetikus. Maka, menjadi sebuah tanggung jawab bersama untuk memutakhirkan kembali padanan kata asing yang tidak saja tepat secara leksikal, tetapi juga memenuhi nilai rasa sehingga masyarakat tidak inkonsisten dalam menggunakannya, terutama di ruang-ruang publik.

Berkenaan dengan nilai rasa transliterasi bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia ini, Chaer menyebut, pemberian proses morfologi pada kosakata bahasa asing menunjukkan bahwa sistem morfologis bahasa Indonesia bersifat fleksibel. Jika dihubungkan dengan kesadaran dan ketegasan hukum pemartabatan bahasa Indonesia di ruang publik, fleksibilitas tersebut dapat dipandang sebagai sebuah keunggulan di satu sisi, sekaligus juga kelemahan di sisi yang lain. Membentuk kesadaran masyarakat melalui penegakan hukum perundang-undangan yang mengatur penggunaan bahasa di ruang publik berpotensi terhambat sebab adanya fleksibilitas sistem morfologis tersebut. Hal ini semakin runyam jika melihat berbagai lema baru dapat dimaksukkan dengan mudahnya ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Padahal, KBBI sejauh ini merupakan rujukan yang paling karib di mata masyarakat kita. Oleh sebab itu, KBBI idealnya tidak sewenang-wenang memasukkan lema baru tanpa pertimbangan yang memadai, terutama bila menyangkut lema yang berpotensi menggoyahkan eksistensi bahasa Indonesia di ruang publik.

Terakhir, dalam konteks pemartabatan bahasa Indonesia di ruang publik, agaknya kita perlu mengutip gagasan yang dinyatakan oleh Sumarsono. Pergeseran  dan pemertahanan bahasa, katanya, bagaikan dua sisi keping mata uang; sebuah bahasa menggeser bahasa lain atau bahasa yang tak tergeser oleh bahasa. Menurut teropong sosiolinguistiknya, bahasa yang tergeser adalah bahasa yang tidak kuasa memertahankan dirinya. Namun, saya pikir, ada yang luput dari pernyataan tersebut. Bagaimanapun pergeseran bahasa adalah kenicayaan, kita semestinya harus meyakini bahwa segala yang kita sebut sebagai kepastian sejatinya belum sepenuhnya terjadi. Bahwa di dalam sebuah kepastian, senantiasa ada variabel-variabel yang mungkin. Maksud saya, bertahan atau bergesernya sebuah bahasa sejatinya bergantung kepada masyarakat penuturnya. Demikian halnya dengan nasib pemartabatan bahasa Indonesia di tengah kondisi keanekabahasaannya, juga bergantung di lidah penutur bahasa Indonesia. Sinergitas setiap elemen masyarakat untuk memertegas hukum tentang penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik demi membentuk kesadaran masyarakat penutur bahasa Indonesia, serta upaya untuk terus memutakhirkan pengindonesiaan berbagai kosakata asing, dengan demikian, mutlak menjadi upaya yang penting untuk terus digaungkan ke depannya. Ketika kesadaran berangsur terbentuk sebab terus ditempa dengan ketegasan hukum, maka konsistensi dalam menggunakan berbagai padanan kata asing pun menjadi mungkin. Dengan begitu, hajat bersama untuk memartabatkan bahasa Indonesia di ruang publik tidak lagi jauh panggang dari api.

Daftar Rujukan

Chaer, A. (2009). Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Gorter, D. (2013). Linguistic Landscapes in a Multilingual World. Annual Review of Applied Linguistics, 33, 190-212.

Sumarsono. (2017). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Penulis: Yohan Fikri


Related

Esai 479756634836601919

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item