Mempertahankan Tradisi

Suasana pembacaan syiir utawen di Masjid Tegalsari, Ponorogo. Sumber: NU Online. Paweling.Com- Sebagai salah satu bulan yang diistimewakan, ...

Suasana pembacaan syiir utawen di Masjid Tegalsari, Ponorogo. Sumber: NU Online.


Paweling.Com-Sebagai salah satu bulan yang diistimewakan, tentu bulan Ramadan mempunyai tempat tersendiri bagi kebanyakan kaum muslim. Sebab harus diakui ada beberapa hal yang ada di bulan Ramadan, namun tidak ada di bulan lainnya. Semisal salat tarawih, berburu takjil, hingga tadarus al Qur’an. Kiranya keistimewaan bulan Ramadan ini juga bisa dihubungkan dengan bulan-bulan sebelumnya, yaitu bulan Sya’ban dan Rajab. Abu Bakar al-Warraq mengatakan bahwa, “bulan Rajab ibarat angin, bulan Sya’ban ibarat mendung, sedangkan bulan Ramadan ibarat hujan.”

Jadi tidak mengherankan apabila bulan Ramadan mempunyai beberapa tradisi yang patut dipertahankan. Seperti Nyadran, Megengan, Jum’at Pungkasan (di Pesantren Ar-Rohman Tegalrejo, Magetan), melantunkan Syiir Utawen (di Masjid Tegalsari), Ujud-Ujudan (di Masjid Tegalsari), Tekdhur, Tadarusan, Ngaji Pasan, dan lain sebagainya.

Bulan Ramadan yang diistimewakan, tentu ada tradisi-tradisi yang menjadi alat bagi masyarakat untuk menyambut atau memuliakan bulan tersebut. Rendra dalam bukunya “Mempertimbangkan Tradisi” menyebutkan bahwa tradisi adalah kebiasaan turun-temurun dalam sebuah masyarakat. Ia merupakan kesadaran kolektif sebuah masyarakat yang sifatnya luas sekali. Sebagai kebiasaan dan kesadaran kolektif, tradisi merupakan mekanisme yang bisa membantu memperlancar pertumbuhan pribadi anggota masyarakat, seumpama seorang ayah yang membimbing anak menuju kedewasaan. 

Namun yang perlu diingat, seperti yang diungkapkan oleh Rendra, tradisi bukanlah benda mati. Maka biarkan tradisi itu terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan zamannya. Hal ini menjadi salah satu cara untuk mempertahankan tradisi itu agar terus ada. Ingat, setiap masa ada orangnya. Kita hari ini tentu tidak bisa memaksakan generasi setelah kita untuk melakukan cara yang sama seperti hari ini dilakukan. Bisa saja generasi setelah kita mempunyai hal lebih untuk memperindah tradisi tersebut.

Pertumbuhan dan perkembangan, jangan pernah diartikan mengubah segalanya yang ada dalam tradisi tersebut. Tidak.  Pertumbuhan dan perkembangan seperti halnya memoles sebuah tradisi agar lebih indah lagi terverifikasi. Kiranya ini juga perlu berlandaskan “al muhafadotu ‘ala qodimis shalih, wal akhdu bil jadidil aslahmemelihara atau menjaga nilai atau ajaran lama yang baik, dan mengambil nilai atau ajaran baru yang lebih baik.

Lebih lanjut ketika membincangkan tradisi, tidak semua tradisi bisa dilakukan kapan saja, meski tradisi itu baik. Sebab setiap tradisi mempunyai tempat dan waktunya masing-masing. Bisa jadi tradisi tersebut menjadi ciri khas momentum tertentu. Semisal ketika kita hendak melakukan tadarus di masjid atau musala, pasti akan kelihatan wagu. Saya sendiri pun ketika masih di pesantren, lebih suka ngaji kitab pada saat bulan ramadan ketimbang bulan lain. Pasalnya, ketika ngaji kitab dibulan ramadan, bisa sambil merokok dan ngopi.

Dari sekian banyak tradisi yang ada di bulan ramadan, ada yang menarik untuk dipahami lebih lanjut, yaitu tradisi melantunkan Syiir Utawen yang ada di Masjid Tegalsari. Menurut beberapa sumber, disebut syiir utawen karena awalan dari syair tersebut memakai kata ‘utawi’. Dalam tradisi yang masih dilanggengkan sampai sekarang, Syiir Utawen dilantunkan di setiap selesai salat tarawih. 

Pesantren Tegalsari sebagai pesantren pertama di Jawa (ucap Martin van Bruinessen) dan termasuk salah satu pesantren tertua di Jawa, tentu mempunyai strategi dakwah tersendiri yang mampu mencuri perhatian masyarakat sekitar sehingga akan mengurangi penolakan terhadap ajaran-ajaran yang hendak disampaikan. Salah satunya melalui Syiir Utawen.

Syiir Utawen ini menggunakan bahasa jawa yang memuat rukun Islam yang berjumlah lima, sekaligus sedikit menjabarkan syahadatain atau dua kalimat syahadat serta berisi pengesaan terhadap Allah SWT. dan pengagungan kepada Utusan Allah SWT. yakni Nabi Muhammad SAW. Secara tidak langsung, ketika syiir ini memakai bahasa jawa, tentu akan memudahkan bagi pendengarnya untuk memahami ajaran yang ada dalam syiir tersebut, terlebih bagi orang awam. 

Akhirnya, dengan masih dilanggengkannya tradisi Syiir Utawen, nuansa religius dalam bulan Ramadan akan lebih terasa. Semoga istikamah.

Penulis: Miftahul Munir

 

Related

Esai 5177675652618990472

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item