Nasionalisme di Indonesia: dari Klasik sampai Modern
Sumber: Sonora.id Paweling.Com -Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Nasionalisme adalah suatu paham atau ajaran untuk mencintai...
Sumber: Sonora.id |
Benih-benih persatuan sebagai nasionalisme kuno di Indonesia telah ada dari zaman klasik (Hindu-Budha), yakni di era Kerajaan Majapahit dengan usaha penerapan Politik Tunggal yang dipimpin oleh Maha Patih Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya. Usaha penyatuan wilayah itu meliputi beberapa kawasan yang lebih besar dari Indonesia saat ini. Wilayah Indonesia yang kita kenal saat ini adalah kelanjutan dari wilayah administrasi Hindia-Belanda. Kerajaan Aceh dan Sriwijaya juga pernah melakukan hal yang sama dengan landasan politik tunggal.
Pada saat itu nama Indonesia belum muncul sebagai Negara-Bangsa, melainkan wilayah Indonesia termasuk ke dalam wilayah nusantara. Nusantara sendiri dimaksudkan untuk penyebutan suatu wilayah kepulauan di Asia Tenggara. Namun, ada juga yang menamakan nusantara sebagai "kepulauan India" dikarenakan banyaknya para saudagar dari anak benua India yang berdagang sekaligus menyebarkan agama dan budayanya di wilayah ini. Yang berpengaruh mendorong berkembangnya budaya bercorak India, dengan peran utama bahasa Sanskerta. Kawasan Tenggara Asia ini juga setara dengan "Indo-Cina", yakni "Cina-India".
Lalu datang budaya hemispheric (meliputi seluruh belahan bumi, yakni belahan bumi timur) islam yang dibawa oleh para pedagang ke kawasan Asia Tenggara menggeser kebudayaan sanskerta yang datang dari anak benua India itu dengan budaya arab. Bahasanya yang berkembang pun sudah tidak meminjam bahasa Persi namun langsung ke bahasa Arab. Pada saat itu pula kekuasaan di wilayah Asia Tenggara masih terbagi menjadi dua, kekuasaan islam di Kerajaan Aceh sedangkan Hindu-Budha ada di Kerajaan Majapahit.
Sebagai wilayah atau Kawasan yang memiliki keragaman baik suku, budaya, kepercayaan, dan adat-istiadat. Kawasan nusantara memang mudah dimasuki kebudayaan luar yang masuk untuk menggeser nilai budaya yang telah berkembang di masyarakat sekaligus menjadi kawasan ini sangat rawan dengan penjajahan dari bangsa luar. Di samping letak geografi yang terdiri dari ribuan pulau dan ditambah lagi dengan letaknya sebagai organ perdagangan rempah-rempah dunia, semakin memudahkan terjadinya gesekan budaya dengan kebudayaan luar.
Dalam suasana Asia Tenggara sebagai kawasan peradaban dan perdagangan dengan kebudayaan baru, yakni hemispheric yang dibawa oleh bangsa Eropa. Mereka didahului oleh Spanyol dan Portugis dari semenanjung Iberia di Eropa Barat Daya. Bangsa-bangsa Spanyol dan Portugis yang baru selesai dengan reconquista itu kemudian mengembara ke seluruh muka bumi. Tujuan mereka ialah menemukan jalan sendiri langsung ke India dan Timur Jauh (khususnya Cina dan Maluku), tanpa tergantung kepada para pedagang Muslim Arab, Persia, India, dan Cina. Dalam pengembaraan itu, seperti kita ketahui bersama, mereka 'menemukan' Amerika dan menaklukkan banyak bangsa, termasuk beberapa bangsa di Asia Tenggara.
Kaum reconquistadores (penakluk) dari Iberia itu di mana pun juga memandang kaum Muslim yang mereka jumpai sebagai musuh yang harus diperlakukan dengan semangat penaklukan. Tetapi memang pada masa-masa itu peradaban Islam sudah mulai melemah, dan perlahan-lahan dunia Islam kembali menjadi sekumpulan bangsa-bangsa terbelakang. Maka akhirnya Malaka, pusat perdagangan dan peradaban Islam Asia Tenggara, pada tahun 1511 M jatuh ke tangan Portugis.
Dalam perjuangan melawan kaum Reconquista, para pedagang muslim, yang dalam bidang sosial-politik mereka dipimpin para sultan, dan dalam bidang sosial-keagamaan mereka dipimpin para ulama yang telah menetap di bandar-bandar di tepi Pelabuhan menentang dengan cara melakukan boikot dengan politik non-koperasi. Pemboikotan dilakukan baik dalam hal sosial-budaya, politik serta pada bidang pendidikan. Sekalipun para penjarah itu terdiri dari bangsa-bangsa Eropa yang berlainan dan silih-berganti, namun semangat perlawanan masyarakat Asia Tenggara tetap teguh, khususnya dalam politik non-koperasi totalnya.
Nasionalisme Modern
Perlawanan yang dilakukan berabad-abad dengan dasar keagamaan maupun perdagangan. merupakan perlawanan yang bersifat kedaerahan, artinya dengan melihat kolonialisme yang semakin menyeluruh ke seluruh "Indonesia". Perlawanan yang di dorong oleh keinginan menjadi bangsa yang merdeka dan meliputi seluruh wilayah "dari Sabang sampai Merauke" baru bersemi bibit-bibitnya setelah pemerintahan kolonial Belanda, atas desakan kaum sosialis, humanis dan reformis liberal di Eropa, memperkenalkan apa yang dinamakan Politik Etis (Etische Politiek) kepada penduduk jajahan pada awal abad ke-20 M.
Politik etis yang dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda terutama pada bidang pendidikan bertujuan untuk menyiapkan pekerja medis murah yang mampu bekerja di bawah pemerintah kolonial Belanda. Namun, yang terjadi sebaliknya, para pelajar dari kaum pribumi justru memanfaatkan fasilitas belajar dari pihak kolonial untuk memerdekakan diri dari kolonialisasi. Dengan perlawanan dalam sistem Pendidikan, para pelajar mampu menyalurkan ide-ide progresif untuk perubahan bangsa Indonesia. Sebagian besar ide perjuangan tersebut terpengaruh dari tulisan-tulisan R.A. Kartini yang di salurkan kepada teman-temannya di Belanda, yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang" dan ada juga pengaruh dari tuisan-tulisan Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli. Dalam buku yang berjudul Max Havelaar, Multatuli menyatakan cita-cita demokrasi Indonesia.
Bibit nasionalisme Indonesia mulai muncul akibat politik etis. Nasionalisme yang digagas oleh para tokoh pada jamannya, ialah nasionalisme yang memegang teguh dalam bingkai perikemanusiaan yang adil dan beradab. Nasionalisme yang dibawa ialah nasionalisme modern tentang hak suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan, karena itu, anti-imperialisme, jadi konsisten dengan prinsip-prinsip demokrasi. Nasionalisme modern akan melahirkan kestabilan dan akan berfungsi sebagai kekuatan yang menyatukan suku-suku dan kelompok-kelompok etnis yang terpisah-pisah. Karena itu nasionalisme merupakan unsur esensial bagi pembangunan bangsa (nation building) untuk Indonesia, sebuah bangsa dan negara yang fragmentasi etnis dan kesukuan ataupun unsur-unsur perbedaan sosial-kultural selalu merupakan ancaman bagi stabilitas dan pembangunan ekonomi.
Dari nasionalisme yang telah terbentuk itu tadi akan muncul organisasi pergerakan, seperti Budi Utomo sebagai realisasi ide-ide dari kaum terpelajar dari STOVIA, yakni R. Soetomo, R. Gonawan, Mangunkusumo, Suradji, serta dibantu oleh Suwardi Suryaningrat, kemudian tumbuh sebagai dorongan berkembangnya perkumpulan kepemudaan dalam batas kesukuan atau kepulauan dan kedaerahan seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Celebes, yang masih menggunakan nama kedaerahan dan belum menggunakan nama "Indonesia". Dalam gabungannya masyarakat sebagai gologan tertindas oleh pemerintah Hindia Belanda, semangat nasionalisme modern itu membangkitkan gerakan Sarekat Dagang Indonesia (SDI) oleh Haji Samanhudi dengan cakupan pendukung yang tidak lagi terbatasi oleh lingkungan kedaerahan atau kesukuan, tetapi meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda.
Pada saat ini muncul inisiasi penggunaan nama Indonesia dan juga menginisiatif para pelajar di negeri Belanda untuk membuat sebuah perkumpulan dengan menggunakan nama "Indonesia" sebagai penyebutan wilayah. Ketika diasingkan ke Negeri Belanda, Ki Hajar Dewantara pada 1918 M, tepatnya di Den Haag, ia mendirikan Indonesisch Persbureau (Kantor Berita Indonesia). Sedangkan Bung Hatta pada tahun 1928 M ketika dipenjara di Negeri Belanda, dalam pleidooinya menyatakan, "Indonesia Merdeka" (Indonesie Vrij). Kemudian hari dikukuhkan dalam salah satu peristiwa amat bersejarah bagi pergerakan pemuda nasional di Indonesia, yaitu sumpah pemuda.
Peran penyatuan berbagai keragaman di Indonesia bukanlah hal yang gampang, banyaknya suku, adat istiadat, dan juga bahasa yang beragam. Bahasa sebagai alat komunikasi persatuan di Indonesia merupakan bahasa turunan yang lahir dari bahasa Melayu logat Riau Kepulauan. Pada mulanya bahasa Melayu merupakan lingua franca yang kemudian ditingkatkan lebih tinggi daripada sekadar lingua franca dan dikembangkan menjadi bahasa buku untuk agama, sastra, dan kebudayaan oleh para ulama dan cendekiawan Kesultanan Aceh.
Penggunaan bahasa Melayu yang melahirkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan merupakan hal yang tepat. Sebab, apabila dipilih bahasa jawa dan sunda dengan pengguna terbanyak sebagai bahasa persatuan, maka akan muncul hambatan psikologis dalam usaha pembinaan bangsa. Dengan bahasa Melayu sebagai sahamnya, meminjam jargon dalam dunia komputer, Sumatera dan luar Jawa pada umumnya telah menyediakan "perangkat lunak" (software) bagi hakikat keindonesiaan. Sedangkan Pulau Jawa, yang selalu berperan sebagai pusat kekuasaan dalam ukuran besar dan luas, menyediakan "perangkat keras" (hardware) baginya.
Pembagian itu sejalan dengan pola budaya Indonesia yang secara garis besar mengenal adanya dua orientasi: yang lebih egaliter pada pola budaya pesisir (coastal culture) sesuai dengan falsafah borobudur sebagai candi Budha dan yang lebih hierarkis pada pola budaya pedalaman (inland culture) juga sesuai dengan falsafah candi Prambanan sebagai candi Hindu. Kerajaan Majapahit lahir dengan latar belakang Hinduisme dan Budhisme di samping juga mengembangkan kekuatan dan kekuasaan Bahari yang ekspansif, maka muncul ide oleh Empu Tantular, seorang filosof Majapahit, untuk mengusahakan rekonsiliasi antara berbagai aliran keagamaan yang ada, dalam semangat paham kemajemukan atau pluralisme atas dasar keyakinan tentang adanya kesatuan esensial di balik perbedaan formal. Semuanya beranekaragam, namun hakikatnya satu jua, sebab tidak ada jalan kebaktian atau kebaikan yang mendua tujuan (Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa).
Kemajemukan kedua orientasi budaya itu tidak akan hilang dan akan terus mempengaruhi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Walaupun banyak yang sudah berpindah ke agama islam sebagai agama yang kosmoplit. Unsur-unsur budaya menyeluruh itu merupakan payung bersama untuk Jawa dan Luar Jawa, dan berperan sebagai pendorong terjadinya proses-proses konvergensi. Pada terjadinya konvergensi besar menuju ke arah titik-titik temu itulah terletak jaminan bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia dan ketangguhannya.
Daftar Bacaan:
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Biro Pemuda Departemen P.D. & K., Sedjarah Perjuangan Pemuda Indonesia, Jakarta: P.N BALAI PUSTAKA, 1965.
Ajip Rosidi, Sastera Dan Budaya Kedaerahan Dalam Keindonesiaan, Bandung: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2016.
KBBI online https://kbbi.kemendikbud.go.id.
Penulis: Andre Gallentino