Pasar Gelap Perguruan Tinggi

Sumber: Pabelan Online Paweling.Com- Ada dua buku yang menarik perhatian saya dalam membaca peta, arah, potensi, dan masa depan universitas ...

Sumber: Pabelan Online

Paweling.Com-Ada dua buku yang menarik perhatian saya dalam membaca peta, arah, potensi, dan masa depan universitas sebagai rumah peradaban dan sumber kemajuan intelektual. Buku pertama ditulis oleh ilmuan terkemuka dan disegani sebagai kritikus besar Amerika abad ini yakni Noam Chomsky yang berjudul "The Death of American University". Buku ini lebih banyak menyorot semakin melemahnya posisi dan kepercayaan publik terhadap peran Praksis perguruan tinggi karena diaggapnya terlalu birokratis dan politis.

Buku kedua yang tidak kalah menariknya, yaitu dari Peter Fleming yang isinya cukup menggelitik dan tentu saja provokatif dengan judul “Dark Academia: How Universities Die”. Sama halnya dengan buku-bukunya yang sebelumnya, Fleming masih fokus meneliti tentang neoliberalisme. Agenda-agenda neoliberalisme yang beririsan dengan gencarnya arus kapitalisme dan demokrasi politik global seolah sudah tidak ada lagi kekuatan alternatif yang dapat membendungnya bahkan merangsek masuk hingga ke jantung dan rahim etik-ideologis perguruan tinggi. Setidaknya, gagasan penting dan fundamental Fleming memiliki basis argumentasi yang lebih kuat, terutama saat dia menginvestigasi bagaimana sebuah universitas berjalan terseok-seok di masa pandemi global Covid-19.

Narasi-narasi provokasi dan sarkastik yang diuraikan Fleming sangat kontekstual dengan situasi psikososial sejumlah perguruan tinggi di Indonesia bahkan merembes ke daerah-daerah. Setidaknya kita bisa mengamati bagaimana perguruan tinggi di era kontemporer bertransformasi menjadi korporasi yang menghidupi dirinya dengan terjun langsung ke pasar bebas lalu menjelma menjadi sebuah mesin-mesin ekonomi. Akibatnya perguruan tinggi tidak lagi ramah dan berpihak terhadap kepentingan anak-anak bangsa yang miskin, tidak berorientasi kepada kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan, apalagi kesejahteraan komunal.

Perguruan tinggi telah berwatak kapitalisme, menjadi alat produksi yang dikuasai kaum Borjuis yang mengeksploitasi fitur-fitur dan simbol budaya akademik kaum Proletar yang papa dan fakir menjadi semacam pasar industri. Kecenderungan perguruan tinggi tidak lagi memproduksi pikiran kritis dan ide-ide besar, tetapi lebih pada menyiapkan mahasiswa menjadi robot-robot yang terhubung secara mekanis untuk memenuhi kebutuhan pasar kapitalis yang konsumeris dan materialistik. Watak kapitalisme di perguruan tinggi tidak hanya tercermin pada praktek komersialisasi pendidikan, di mana hampir semua komponen pembiayaan pendidikan naik mengikuti rate dan standar harga-harga komoditas ekonomi di pasar dunia dan nasional. Akibatnya mahasiswa sebagai subyek pendidikan yang berasal dari rata-rata keluarga proletar semakin menjerit, tersudut.

Mirisnya lagi, perguruan tinggi malah menjadi produsen yang menghasilkan lebih banyak kaum elite Borjuis baru. Homo Academicus (meminjam istilah Pierre Bourdieu) tidak lagi menjadi produsen gagasan produktif untuk pembelaan terhadap sejumlah alienasi dan marginalisasi, tetapi hanya sekadar menjadi peternak bidak korporasi atau kekuasaan. Harusnya terminologi univerersitas yang diadopsi dari bahasa latin “universitas magistrorum et scholarium”, yang merujuk kepada komunitas intelektual guru dan akademisi yang terdidik, harusnya menjadi tempat bagi para akademisi menguji gagasan, mengembangkan pengetahuan, menemukan nilai-nilai baru, menguatkan nalar kritis, dan menjadi benteng nilai dan lahirnya tunas-tunas intelektual baru selanjutnya.

Perguruan tinggi/universitas saat ini tengah berada dalam situasi kompetisi dengan sesamanya. Ketatnya rivalitas dan sengitnya berebut pasar membuat perguruan tinggi menjadi oportunis dan transaksional. Apa yang paling dicari adalah sensasi, representasi, popularitas, dan posisi "teratas dan terkenal". Ukuran kesuksesan seorang tenaga pendidik pun ikut bergeser dari yang substansi yakni kontribusi nyata kepada kemanusiaan, kesejahteraan, dan pencarian solusi akademik bagi yang tertindas berubah menjadi artifisial yakni banyaknya publikasi jurnal, bukan aksi nyata membela ketidakadilan dan kemanusiaan. Perguruan tinggi harusnya dikembalikan tempatnya sebagai rumah produktif para intelektual berkreasi, tumbuh, dan mengembangkan kreatifitas ilmu pengetahuan. Sejarah universitas adalah sejarah bersemainya para pemikir besar, bukan tempat pembusukan akal sehat. Lalu bagaimana kehidupan para intelektual berjubah akademisi yang berada di kurang lebih 4000 perguruan tinggi di Indonesia?

Mungkin pendapat Fleming tentang kematian universitas terlalu banal untuk dikunyah, maka setidaknya bisa dikatakan bahwa universitas sudah roboh karena ulahnya sendiri yang terlalu formalistik. Hiruk-pikuk dan lalu-lalang akademik yang padat di internal nyatanya tidak berdampak terhadap macetnya arus transformasi sosial. Literasi politik publik masih rendah, pragmatis politik tidak kunjung usai dan kecerdasan publik tidak meningkat menjadi salah satu tanda bahwa kontribusi perguruan tinggi sedang meredup. Kita tidak ingin kampus jadi sekedar pabrik para sarjana dan penyumbang pengangguran intelektual.

Para akademisi sekarang tidak lagi sedang berdiri di menara gading pengetahuan dan keilmuan, tetapi sedang meratapi nasib di bawah puing-puing kehancuran. Dulu disebut di menara gading karena para akademisi hanya sibuk dengan konsep dan teori lalu jauh dari realitas masyarakat. Kondisi sekarang, pondasi menara gading itu sudah runtuh dan para akademisi tersebut sedang berjejalan di bawah reruntuhan. Dulu dikritik karena jauh dari realitas sosial masyarakat, sekarang dianggap penyakit karena laku buruknya dalam menyelesaikan persoalan praktis di masyarakat. Para akademisi lebih menggugu pada kekuasaan dibanding ilmu pengetahuan. Sibuk menyiapkan titel-titel akademik dan menghamba untuk mendapatkan H-Indeks sitasi demi gelar akademik tertinggi. Nahasnya, titel akademik itu tidak diiringi dengan produksi ide dan kemajuan pengetahuan, tetapi hanya dan untuk mendekat pada ruang kekuasaan. Sampai-sampai ada yang menjadi bunglon dengan mengubah warnanya agar harmonis dengan penguasa.

Tidak sedikit juga para akademisi yang menyandang gelar guru besar (dengan pelbagai cara), tetapi tidak (atau mungkin sedikit) pernah punya konsep-konsep besar. Masyarakat umum tertawan dengan deretan gelar di depan dan di belakang namanya, tetapi tertawa dengan isi kepala mereka. Siapa yang peduli dengan kematian universitas? Toh, para akademisi dan kita semua mungkin saja sebagai tersangka utama pembunuhan itu. Tragis.

Mutasi Akademisi
Tidak hanya virus, pemaknaan “menjadi akademisi” juga sedang bermutasi. Dulunya akademisi disebut sebagai kaum intelektual yang selalu punya dedikasi tinggi terhadap pengetahuan dan selalu memproduksi ide-ide besar. Sekarang kebanyakan akademisi hanya berperan sebagai pemain cadangan yang menunggu panggilan kekuasaan. Jika panggilan kekuasaan itu tak kunjung datang, maka mereka beratraksi sambil berharap dilirik lingkar kekuasaan. Ujung-ujungnya sama, membangun relasi kuasa. Intelektual semacam ini menurut Antonio Gramsci dalam Prison Notebooks-nya disebut sebagai intelektual tradisional.

Intelektual tradisional menurut Gramsci adalah corong kehendak penguasa. Kenyataan pahit ini terus berlanjut dengan bertambahnya jumlah para akademisi, titel akademiknya semakin panjang, tetapi hanya sebatas itu. Tidak banyak yang membanggakan. Akibatnya, mahasiswa sebagai calon intelektual selanjutnya menjadi terdisrupsi. Akademisi yang mendidiknya hanya sebatas menjalankan ritus-ritus rutinitasnya dengan mengajar, tetapi tidak membentuk identitas intelektual mahasiswa didiknya.

Faktor apa yang menyebabkan kebanyakan akademisi bermutasi? Diakui atau tidak, kekuasaan ternyata ikut berkontribusi untuk mematikan akademisi dengan privilese kebebasan yang dimilikinya. Ruang kebebasan akademik hanya wacana-wacana lusuh yang menopang demokrasi tetapi mati di tangan para tiran. Kampus merdeka bisa saja hanya menjadi jargon artifisial tanpa makna. Siapapun boleh berkata apapun, bebas, aman, dan dijamin undang-undang, tapi jangan sampai terdengar suaranya. Suarakan saja kebebasan itu di dalam kebisuan, karena kalau kebebasan itu terdengah lirih, maka jeratan hukum siap menanti. Belum lagi counter attack dari jemari para buzzer oligarki di media sosial juga telah siap menguliti para akademisi yang lantang bersuara. Lalu pada akhirnya universitas sudah berubah menjadi perpanjangan tangan para oligarki dan para pimpinannya malah berubah menjadi diktator bermerek in”telek”tual.

Bukan tidak mungkin, kematian universitas dan pembungkaman ruang kebebasan akademik justru dilakukan oleh para akademisi itu sendiri. Motifnya bisa bervariasi, mempertahankan status quo sebagai penguasa kampus atau hanya karena berbeda pandangan.Bahkan ada beberapa akademisi yang juga berprofesi menjadi para pendengung (buzzer). Otak cemerlangnya dipakai hanya untuk jadi juru bicara kekuasaan dan mendekonstruksi kebenaran sesuai dengan versinya. Tujuannya jelas, memanjakan kuping relasi kuasanya. Kekuasaan itu selalu menarik. Jarang orang tidak tergoda atau setidaknya berselera untuk menjadi penguasa. Sekelam itukah keadaannya? Saya sedang tidak membangun cerita-cerita distopia (imajinasi ketakutan). Fenomena ini nyata. Hanya saja kita bisa perdebatkan tentang berapa banyaknya fenomena mutasi akademisi ini terjadi. Apakah mutasi akademisi dan keruntuhan universitas ini hanya menyasar pada kelompok akademisi di universitas negeri saja? Ternyata tidak juga. Akademisi di universitas swasta pun juga dipaksa mengubah dirinya hanya sekadar untuk bertahan hidup dari tangan-tangan oligarki.

Kematian universitas dalam istilah Fleming mungkin bisa ditangkas dengan memunculkan kembali ruang kebebasan akademik. Hanya dengan kebebasanlah para intelektual organik kembali bersemi. Intelektual organik dalam istilah Gramsci merupakan para intelektual yang bisa membangkitkan kesadaran perlawanan dengan basis pengetahuan yang dimilikinya. Tidak usah fobia dengan kata perlawanan. Perlawanan di sini tidak hanya dalam konteks kontestasi politik kekuasaan saja, tetapi jauh lebih umum, yaitu perlawanan terhadap penyakit-penyakit sosial kemasyarakatan.Intelektual akademik yang seperti itulah yang sedang dibutuhkan agar keluar dari labirin permasalahan bangsa ini.

Jika asumsi Fleming benar dengan menyatakan bahwa universitas sudah mati, maka cukup berat tugas akademisi intelektual organik yang masih tersisa. Melakukan reformasi atau lebih ekstremnya melakukan revolusi sistem di universitas. Saya tidak sedang bercarut-carut menghujat “segelintir” akademisi dan kaum intelektual. Saya hanya sedang berefleksi dan melakukan autokritik. Anggap saja tulisan ini jeritan bisu yang tertuliskan oleh “intelektual tradisional” seperti saya. Saya dan para akademisi lainnya bisa saja sudah tidak lagi menjalankan khittah intelektualitas.

Mungkin juga sudah menghamba pada unsur-unsur di luar ilmu pengetahuan atau bahkan tidak tertutup kemungkinan libido kekuasaan. Kita semua tidak sempurna tetapi berani bersuara kritis dan menjaga jarak dengan kekuasaan demi idealisme juga perlu. Realitas mengerikan ini perlu diucapkan sebagai alarm tanda bahaya. Agar perguruan tinggi sebagai rumah peradaban dan benteng nilai tidak tergadaikan oleh lezatnya kekuasaan. Fleming bahkan mengatakan bahwa pimpinan perguruan tinggi ada yang posisinya di hadapan kekuasaan lebih tinggi dan lebih dekat dari seorang ketua partai politik. Mengenaskan.


Penulis: Ady Vandea

Related

utama 1562525622473276815

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item