Dari Kondisi Politik yang Panas hingga Halalbihalal
Paweling.Com- Kondisi politik hari ini yang masih panas setelah Pemilu, memaksa saya untuk mengingat salah satu tokoh nasional yang cukup t...
http://www.paweling.com/2024/04/dari-kondisi-politik-yang-panas-hingga.html
Sudah familiar pula di kalangan masyarakat terutama warga Nahdliyin, bahwa Kiai Wahab merupakan salah satu kiai yang mempunyai karir cemerlang di dunia perpolitikan negeri ini. Kedekatan Kiai Wahab dengan tokoh elit politik pada waktu itu seperti Pak Kusno alias Bung Karno menjadi salah satu contoh. Kiai Wahab dengan jiwa nasionalismenya, tentu tidak akan diam saja ketika ada permasalahan atau perpecahan yang ada dalam negeri ini.
Pada tahun 1948, lebih tepatnya di pertengahan bulan Ramadan, dengan situasi politik yang memanas disebabkan banyak pemberontakan seperti DII/TII, PKI (Madiun Affair), membuat Bung Karno sedikit kebingungan. Akhirnya Bung Karno mengundang Kiai Wahab selaku Dewan Pertimbangan Agung RI untuk datang ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan saran. Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk mengundang seluruh tokoh politik ke istana untuk menghadiri silaturahmi. Berhubung istilah silaturahmi cenderung biasa, maka Kiai Wahab memberi nama Halalbihalal.
Apakah benar yang mencetuskan Halalbihalal pertama kali adalah Kiai Wahab? Mari kita buka beberapa arsip. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Halalbihalal diartikan sebagai maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadan. Menurut Th. Pigeaud dalam kamus Jawa-Belanda yang terbit tahun 1938, istilah Halalbihalal berangkat dari kata “halal behalal” yang mempunyai arti salam (datang, pergi) untuk (saling memaafkan di waktu Lebaran).
Sedangkan dalam sebuah manuskrip dari abad XVIII yang bertajuk “Sêjarah Sagung-ing Para Ratu” (IOL Jav. 10), bertarikh: 7 Ramêlan nir panêmbah ing panḍita aji, atau 7 Ramadan 1720 J. atau 8 April 1794 M. Manuskrip koleksi Mackenzie 1823 dengan kertas Eropa berukuran 27 x 21 cm, tebal 536 halaman. Pada halaman ke-119, bait Asmaradana tertulis:
[…..]
Sunan Makêdum sira
mring Sèh A(h)lul Iman guru
wus dangu gèn (pi)takènan.
Sèh A(h)lul Iman mintasih
anêḍa halalbahalal
anak Mas Cirêbon mangké
[……]
Di sana memuat keterangan bahwa Sunan Makdum atau Sunan Bonang—yang menurut Schrieke dalam “Het Boek van Bonang” (1916) wafat pada tahun 1525 M—bersama dengan Syekh Ahlul Iman meminta “Halalbihalal” (anêḍa halalbahalal). Syekh Ahlul Iman atau Haji Abdullah Dzul-Iman adalah nama lain dari Pangeran Cakrabuana, ayah mertua dari Sunan Gunung Jati (w. 1568 M), sebagaimana yang tertulis dalam Babad Tjerbon edisi Brandes (1911):
[…..]
Tjakrabuana kahuni.
ingkang sami cé anêbut
ing paparab duk ing Mêsir
ḥaji Ngabdulah Dzuliman
[…..]
Sementara dalam manuskrip koleksi Perpustakaan Nasional yang bertajuk “Babad Cerbon” (CS 114), bertarikh 1869 M tertulis: “[...] lampah ḥalalbaḥalal sami rawuh amarêk ḍatêng Pangéran Karang Kamuning [...]”. Pangeran Karang Kemuning dalam Hikayat Hasanuddin edisi Edel (1938) dicatat sebagai salah satu dari anak (mantu) Sunan Ampel (w. 1480?), adik dari Sunan Bonang, dan berkedudukan di Jepara.
Kemudian pada tahun 1924, Majalah Soeara Moehammadijah sudah memakai istilah Halalbihalal dengan “Alal Bahalal” dalam sebuah kolom yang diterbitkan menjelang hari raya Idul Fitri. Mengutip dari Historia.id, keterangan mengenai Halalbihalal dijelaskan oleh Rachmad, seorang penulis asal Gombong Jawa Tengah pada sebuah kolom dalam Majalah Soeara Moehammadijah edisi No.5 tahun 1942 dengan judul “Hari raja ‘Iedil Fithri”.
Berdasarkan buku Tambakberas: Menelisik Sejarah, Memetik Uswah, tradisi saling berkunjung dan meminta maaf di bulan Syawal ini secara turun temurun disebut dengan balalan. Istilah sejenis balalan ini walau pada awalnya dengan maksud lain telah berkembang di daerah lain. Sunarto Prawirosujanto menjelaskan sekitar tahun 1935-1936 ada penjual martabak yang untuk menarik perhatian, mereka berteriak, "Martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal."
Akhirnya perkataan halalbehalal atau alalbalal menjadi populer di kalangan masyarakat Solo. Untuk selanjutnya ketika masyarakat sekitar Solo pergi ke Sriwedari di hari Lebaran disebut berhalalbalal; pergi keluar berpakaian rapi di hari Lebaran disebut berhalalbalal; dan pergi silaturahmi pada hari Lebaran, biasanya berpakaian rapi, disebut berhalalbalal.
Setelah istilah Halalbihalal ini menjadi terkenal, para tokoh NU Jombang saat itu mendiskusikannya melalui forum Bahtsul Masail di Masjid Kauman Utara Jombang. Hasilnya mengusulkan agar nomenklatur Halalbihalal ini diganti dengan Tahniatul 'id (ucapan selamat hari raya) seperti yang ada di dalam kitab-kitab. Perubahan tersebut juga didukung oleh Kiai Bisri Syansuri.
Namun ketika tim Bahtsul Masail menghadap dan mengusulkan istilah baru itu sebagai ganti dari istilah Halalbihalal, Kiai Wahab menolak dengan alasan, “Ojo, iki wis tak kenalno ndek istana negara, ojok didelok jenenge, tapi deloken isine” (jangan dirubah, karena ini sudah saya kenalkan di istana negara. Jangan dilihat namanya, tapi lihat saja isinya). Akhirnya nama Halalbihalal tetap digunakan sampai sekarang.
*) diolah dari berbagai sumber
Penulis: Miftahul Munir