Dering dari Telepon Mbah Benu

Paweling.Com- Selisih pendapat dalam penetapan Hari Raya Idul Fitri di Indonesia, kiranya sudah bukan lagi sebuah perkara yang asing di teli...


Paweling.Com-
Selisih pendapat dalam penetapan Hari Raya Idul Fitri di Indonesia, kiranya sudah bukan lagi sebuah perkara yang asing di telinga kita. Diwakili oleh dua ormas Islam terbesar—NU dan Muhamadiyah—saling-silang pendapat dalam penetapan tanggal 1 Syawal seakan telah membubuhkan warna tersendiri dalam dinamika Islam di negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini. Absennya selisih pendapat di antaranya keduanya, akan menjadikan momen menjelang hari kemenangan itu bagaikan sayur asam kehilangan asamnya. 

Namun, selisih pendapat di antara keduanya, dapat dipastikan sama-sama didukung oleh perangkat keilmuan yang memadai. Baik hisab atau perhitungan astronomis maupun rukyatulhilal atau peninjauan secara empiris, keduanya memiliki basis ilmu yang adekuat. Oleh sebab itu, kedua putusan yang dihasilkan melalui dua metode itu tugur di atas pondasi yang kokoh, sehingga dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Islam tidak mengenalkan metode lain selain kedua metode tersebut. Konsekuensinya, akan menjadi sebuah masalah yang menggemparkan bagi seluruh muslim par excellence di Indonesia, ketika mereka tahu, di dusun kecil, di Gunung Kidul, sekelompok muslim telah mendeklarasikan hari raya dan menunaikan ibadah shalat ied 5 hari lebih cepat dari yang dapat mereka bayangkan. 

Masalah ini jadi semakin kompleks sebab Ibnu Hajar Pranolo—kiai masjid tersebut—mendaku, penetapan hari raya mereka tak didasarkannya baik pada metode hisab maupun ru’yatulhilal. Persis sebagaimana dia katakan, penetapan itu murni didasarkannya pada keyakinan.

Tidak pakai perhitungan. Saya telpon langsung kepada Allah Ta’ala,” kata lelaki yang akrab disapa Mbah Benu itu kepada awak media.

Ya Allah, kemarin, tanggal 4 malam 4. Ya Allah ini sudah 29. 1 Syawalnya kapan? Allah Ta’ala ngendhika, tanggal 5, Jumu’ah. Kowe kaya ngono. Lha mangka yen disalahke uwong, ora papa, urusane ingsun karo Gusti Allah,” tukasnya. 

Dalam sekejap, pernyataan yang viral di media sosial itu pun basah kuyup oleh cibiran warganet. Dalam postingan instagram @officialinewstv sampai detik esai ini saya tulis, misalnya, tercatat tidak kurang 1067 komentar kuldesak di kolom postingan. Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai otoritas yang berwenang pun seakan tak mau ketinggalan. Inilah momen tepat untuk menunjukkan bahwa mereka dibayar dan sudah selayaknya, mereka bekerja. Melalui laman resminya, MUI pun mengeluarkan fatwa menyikapi fenomena tersebut. 

Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof. K.H. Asrorun Ni'am Sholeh dengan tegas mengatakan bahwa hal tersebut merupakan sebuah kesalahan yang sangat perlu untuk diingatkan. Oleh karena namanya semakin santer dan hangat menjadi buah bibir masyarakat muslim dari berbagai wilayah, Mbah Benu pun kembali angkat suara mengenai pernyataan kontroversialnya. Kali ini, kepada CNN Indonesia, Kiai Masjid Aolia itu menjelaskan bahwa ungkapan “telepon” sekadar “istilah”. Yang ia maksud sejatinya adalah kontak batin antara dirinya dengan Allah. Dengan Tuhannya. Hal ini juga dipertegas oleh putra kelima Mbah Benu, Daud Mastein. Menurut putranya, pernyatan tersebut tidak lebih dari sebuah kiasan. Daud menjelaskan bahwa Mbah Benu mengaji hingga melakukan amalan lain untuk menentukan awal dan akhir Ramadan serta 1 Syawal. Ia ingin menegaskan bahwa penetapan 1 Syawal Mbah Benu tidak asal dicetuskan. Melainkan tetap memiliki dasar ikhtiar. “Ya ngaji, ya amalan, dan itu merupakan karamah beliau,” tegasnya..

Terdapat beberapa komentar masyarakat maya kita yang cukup membikin saya geleng-geleng dan mengelus dada berkali-kali di beberapa postingan instagram. Sebuah akun, misalnya menulis, “Orang begitu itu kok ada pengikutnya ya?”. “Ya, ada,” gerutuku. Saya berani bertaruh, andiakata Anbiya' dan Auliya' menyampaikan cerita mengenai mukjizat dan karamah mereka di zaman sekarang, mereka juga pasti akan mendapat hujatan yang sama. Komentar tolol begitu belum seberapa bila dibandingkan dengan sebuah akun yang menulis, “Kenapa tidak minta dicabut nyawanya saja sekalian sama Allah, Mbah?”. Saya miris benar menyimak sejumlah komentar orang-orang Islam kita dalam menyikapi fenomena ini.

Bukan berarti saya membenarkan pernyataan kontroversial Mbah Benu mengenai penetapan 1 Syawalnya yang tak metodologis sebagaimana Muhamadiyah jamak memakai hisab dan NU istikamah memakai ru’yatulhilal. Penetapan 1 Syawal, dalam hemat saya, tetaplah harus didasarkan pada setidaknya satu di antara metode absah tersebut. Yang saya sayangkan adalah, betapa nilai kemanusiaan dan welas asih yang divisikan Nabiyullah Muhammad Saw. di dalam agama yang beliau risalahkan, begitu mudahnya menguap di benak umat-Nya. Kendati penetapan 1 Syawal jemaat Masjid Aolia terbilang tidak dapat diterima secara nalar, dalam hemat saya, Islam—dan agama-agama lainnya—serta berbagai hal yang kini dipakemkan menjadi syari’at, sebagian lahir dari rahim kosmis, penuh peristiwa-peristiwa bercorak “mitos”. Dalam tulisan ini, saya ingin memulai perjalanan nalar kita melalui sebuah kata yang menggemakan misteri tersebut. Ya, “mitos!”

***

Ketika seseorang menyebut kata mitos, yang kemudian lazim terlintas di kepala mereka adalah berbagai hal yang bersifat klenik atau takhayul. Di hadapan alam pikiran masyarakat modern, sebuah hal disebut sebagai mitos sebab ia tak dapat dibuktikan kebenarannya secara faktual. Inilah yang jamak disebut dengan demistifikasi dan/atau demitologisasi

Di mata saya, pandangan-pandangan sempit tersebut pada akhirnya tidak lebih dari sikap yang mendiskreditkan dan mereduksi sebuah makna asali dari mitos. Sebab, pandangan-pandangan sempit tersebut hanya semakin menunjukkan ketidakpahaman mereka terhadap genealogi keilmuan dari mitos. Dalam sebuah risalah pengantar bukunya, Armstrong pernah merefleksikan pandangannya mengenai dualitas-politis antara mitos dan logos; cikal-bakal oposisi biner antara agama dan sains. Oposisi biner tersebut lahir dari paradigma modern. Sebab, Armstrong mencatat, dalam kebanyakan budaya pra-modern, baik mitos maupun logos adalah dua hal yang berkedudukan setara sebagai cara berpikir, moda berbicara, dan upaya memeroleh pengetahuan. Lantas, apakah itu logos? Dan apakah itu mitos? Apa takrif dan signifikansi fungsi dari adanya dua hal tersebut?

Logos, yang secara harfiah berarti ‘nalar’ adalah cara berpikir pragmatis yang memungkinkan orang berfungsi secara efektif di dunia. Karena itu, ia senantiasa dan harus relevan dengan kenyataaan eksternalnya. Sebab, di pundaknyalah kesintasan hidup manusia dipertaruhkan. Namun, Armstrong menambahkan, logos tidak kedap dari keterbatasan. Ia tidak kuasa melipur kesedihan manusia atau menemukan makna tertinggi dari perjuangan hidup. Oleh sebab itu, dalam dua urusan tersebut, manusia cenderung berpaling kepada mitos. Di masa lalu, mitos bukanlah fantasi yang diciptakan sekehendak hati. Ia, sebagaimana logos, membantu manusia untuk hidup secara kreatif di tengah kehidupan dunia yang membingungkan, yang berada di luar kewenangan dan jangkauan logos. Baik mitos maupun logos tidak mengungguli satu terhadap yang lain. Sebab keduanya memiliki bidang kompetensi masing-masing, maka tidaklah bijak jika kita mencampur-baurkan, apalagi membandingkan nilai kebenaran di antara kedua hal yang punya aras berbeda itu. 

Akan tetapi, manusia kini hidup pada zaman di mana logos lebih digdaya sehingga membuat mitos semakin tersuruk ke liang cela lantaran ia tak dapat dibuktikan kebenaran faktualnya. Banyak orang yang tak paham bahwa sejak awal, konsep daripada mitos memang cenderung memertahankan misteri dari entitas transenden. Keberadaan mitos sejak semula memang tidak diniatkan untuk menjabarkan keakuratan peristiwa sejarah. Mitos dirancang untuk berdamai dengan wilayah-wilayah kabur di dalam jiwa, yang sulit untuk dijangkau, tetapi berpengaruh signifikan terhadap pikiran dan tindakan manusia secara mendalam. 

Singkatnya, menurut Armstrong, kodrat antara mitos dan logos memanglah beda semenjak awal. Keduanya pun membahasakan kebenaran dalam struktur kalimat dan font yang berbeda—kendati toh saling melengkapi. Mitos cenderung menarasikan persinggungan antara pengalaman manusia dengan realitas dunianya yang penuh misteri. Persinggungan itu, disampaikan oleh sebuah mitos dengan cara metaforis laiknya sebuah puisi. Oleh sebab itu, mitos atau pengalaman-pengalaman yang berada di lingkaran ini, idealnya memang tidak untuk dibaca secara literal. Derajat nilai dan takaran kebenaran sebuah mitos tidak bisa diukur dengan apakah ia berterima secara nalar ataukah justru sebaliknya. Satu-satunya jalan untuk memahami mitos adalah dengan melakukan tindakan atasnya. 

Membaca dan menakwil tamsil di dalam mitos akan mengungkapkan kepada kita mengenai nilai-kebenaran mendalam dalam kehidupan manusia yang tak terungkapkan sebelumnya. Agama pun—sebagai sebentuk ritual dan upaya memahami mitos dengan menjalankan tindakan atasnya—demikian. Mitos penciptaan, sebut saja, tentu tidak dapat kita buktikan kebenaran faktualnya sebagaimana teori evolusi dapat secara adekuat menguraikan asal-usul manusia secara empiris. Namun, penafsiran terhadap narasi mitos penciptaan mampu mengungkapkan kepada manusia bahwa karena Tuhan menciptakan umat manusia menurut citra-Nya dalam banyak hal, itu membantu manusia memahami mengapa mereka diciptakan dengan begitu menakjubkan. Mengatakan bahwa Adam diciptakan menurut citra Tuhan berarti ia mengandung sifat-sifatnya: Memiliki kecerdasan, memiliki emosi, mampu menjalin hubungan dengan Tuhan dan sesama makhluk, serta dapat melakukan berbagai tugas. Dari pemahaman mendalam ini, manusia mencapai esensi dari kebenaran yang mendalam tentang kemanusiaannya. 

Kita selaku umat muslim sendiri agaknya lupa bahwa agama Islam—dan agama-agama yang lain—pun tak kebas dari kisah-kisah yang melampaui jangkauan otoritas logos. Pengalaman irrasional Mbah Benu bukanlah pertama kalinya ada dalam Islam. Malah, kisah-kisah irrasional telah menjadi tonggak penting dalam agama Islam itu sendiri. Kisah pewahyuan Al-Qur’an, inisiasi (ketika Baginda Agung Muhammad Saw. dibelah dadanya oleh Jibril untuk dibasuh-sucikan hati-Nya dalam sebuah bejana emas), dan Isra’ wal Mi’raj jelas merupakan kisah-kisah, yang tak akan pernah kuasa kita layari dengan sampan logika. Lagipula, tak ada gunanya juga menakar kebenaran kisah yang meningkahi logos itu secara otoritatif hanya buat menghukumi apakah peristiwa tersebut merupakan kebenaran atau justru kepalsuan. Mengingat peristiwa agung Isra’ wal Mi’raj terjadi dalam semalam saja, misalnya, otoritas pikiran seseorang bakal buru-buru memaksa lidahnya untuk menilai peristiwa tersebut sebagai sebuah ketidakmungkinan. Ini saja telah menunjukkan betapa daif akal manusia di hadapan sebuah misteri.

Namun, membaca, menafsir, dan merenungi tiga kisah yang memiliki hubungan resikprokal tersebut dapat mengungkapkan kepada kita bahwa betapa puncak pencapaian tertingggi seorang hamba adalah perjumpaan dengan Eksisten Supra Tinggi. Perjumpaan tersebut, hanya dapat terengkuh manakala manusia telah berhasil mengentaskan diri badani dan ruhaninya, dari segala bentuk kepongahan individualisme dan egosentrisme.

Al-Qur’an, pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. ketika Makkah, pada saat itu, sedang dihempas krisis moral dan sosial secara massal. Transformasi kota Makkah menjadi pusat perekonomian, membuat nilai-nilai egaliterian yang meletakkan tujuan komunal-suku di atas kepentingan individual menjadi sekadar bunga kenang yang layu di masa lalu. Transformasi ini tidak lepas dari faktor keberadaan bait suci yang dulunya menjadi pusat ritual berbagai agama. Ada satu fakta sejarah yang menarik mengenai perwujudan fisik bait suci Kakbah  (secara etimologis berasal dari kata “cube” atau kubus) di masa pra-Islam. 

Di masa pra-Islam, betapa perwujudan Kakbah sangatlah jauh dari apa yang dapat kita bayangkan hari ini mengenai rumah Allah. Kakbah di masa Muhammad sebelum menjadi rasul, amatlah sederhana. Saking sederhananya, ia sekadar dinding batu dengan tanah liat setinggi lelaki dewasa, beratapkan daun-daun kurma yang ditutupi kain. Dan, bagi Muhammad kecil yang hidup di suku nomadik Badui, objek tersebut sangatlah familier. Masyarakat pengembara seperti Suku Badui sering menyaksikannya, dan biasa menyebutnya sebagai Arish, yang, secara harfiah, berarti kandang domba. Akan tetapi, nama tersebut juga sekaligus mengandung makna mistis nyaris di seluruh Timur Tengah sebab ia merupakan nama Semit Kuno untuk menyebut tabernakel yang dibangun di padang gurun oleh Bani Israil di bawah pimpinan Musa. Ia tidak saja tempat yang terlindungi, tetapi sekaligus tempat berlindung. Tidak hanya bagi manusia, tetapi juga hewan (Tuhan adalah penggembalaku). Kakbah versi awal menolak “tradisi tempat-tempat tinggi” untuk bertemu dengan Tuhan. Dan memang, secara geografis, kubus kudus ini terletak di titik paling rendah kota Makkah, di ceruk paling dasar yang terbentuk oleh pertemuan beberapa wadi—pergumulan sungai-sungai kering sisa banjir-banjir kilat.

Didukung situasi strategis sebagai pusat ritual agama-agama di Jazirah Arab masa pra-Islam, kota kelahiran Baginda Nabi Muhammad Saw. itu pun bermetamorfosis menjadi kota niaga yang demikian menjanjikan. Pasar bursa dibuka setiap tahun di sana, di mana orang-orang menggelar transaksi, mengadu nasib, dan pulang sebagai seorang taipan. Namun rupanya, tidak semua kabilah atau klan mereguk bonus geografis tersebut. Bani Hasyim—yang tidak lain merupakan klan Baginda Nabi Muhammad Saw.—adalah satu contoh klan yang tak berdaya menghadapi situasi kapitalistik demikian ini. Etos Arab yang egaliter telah patah dihantam ketamakan duniawiyah. Dalam situasi di ujung tanduk seperti inilah, Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Saw. melalui perantara Jibril. Turunnya Al-Qur’an, dengan demikian, menjadi titik tolak peradaban Kota Makkah menuju ke sebuah revolusi masif; sebuah perombakan total tatanan lama yang telah runtuh. Dan Muhammad-lah yang dipercaya oleh Allah untuk memikul visi perbaikan moral-sosial itu—sebuah takdir yang, sama sekali tak pernah dibayangkan oleh seorang bocah yatim yang menghabiskan masa kecilnya di alam Badui.

Al-Qur’an, sebagaimana kita tahu, diturunkan pada malam ke-17 Ramadan. Malam ini, dalam dua ayat pertama Al-Qadr, disebut sebagai malam yang mulia, Lailatul Qadr. Malam yang, menurut surat tersebut, lebih baik daripada seribu bulan. Keistimewaan tersebut tak lain sebab malam itulah mukjizat paling agung agama Islam diturunkan kepada seorang lelaki keturunan bani Hasyim, di usianya yang kepala empat. 

Fakta mengenai pengalaman pewahyuan, lagi-lagi akan mematahkan imajinasi modern kita. Pewahyuan bukanlah sebuah proses perjumpaan antara seseorang dengan malaikat atau perwujudan Tuhan dalam situasi yang indah dan mengharu-biru. Alih-alih imajinasi-imajinasi romantis seperti itu, proses penurunan wahyu untuk pertama kali cenderung memberikan gambaran kepada kita mengenai suasana yang cekam dan menegangkan. Di Gua Hira’, malam itu, bila kita amati dengan seksama, nada Jibril yang disampaikan kepada Muhammad lebih kepada sebuah paksaan alih-alih permohonan nan santun. “Bacalah!” titah malaikat itu, sementara sang calon rasul itu, kita tahu, menjawab dalam gugup, "Aku tak bisa membaca". Ada perasaan kejut dan pukau. Aisyah—salah seorang istri Nabi yang paling muda dan vokal—dan Zubair, kelak menggambarkan pengalaman tersebut dengan narasi yang begitu chaos

Jibril dikisahkan datang menemui calon junjungannya ketika ia baru saja beranjak berdiri dari meditasi. Demi mendapati itu, Muhammad pun tersungkur. Dia merangkak. Dia berusaha menjauh. Dia, tentu saja, gemetar dan takut. Muhammad bahkan sempat berpikir bahwa dia sudah gila laiknya seorang kahin atau kaum penyair. Perlahan dia mulai berpikir untuk mengakhiri hidupnya dengan mendaki ke puncak Jabal dan melemparkan tubuhnya ke dasarnya, berharap, kengerian itu bakal timpas oleh ajal. Namun, dalam pelariannya itu, Jibril berkali-kali menghadangnya dari segala penjuru cakrawala dalam rupa seorang pria yang mengangkangi cakrawak tepi ke tepi. “Muhammad, aku Jibril dan engkau adalah utusan Allah,” kata malaikat itu. “Bacalah!” titahya lagi. “Apa yang harus kubaca?” tanya Muhammad tergagap. Malaikat itu meraih dan merengkuh tubuhnya sampai tiga ambalan, dan membuat Muhammad nyaris kehabisan napas. Dan malam itu, untuk pertama kalinya, firman Allah meluncur dari lidah seorang lelaki berusia 40 tahun tersebut. Dia lalu pulang, berjalan terhuyung-huyung menuju ke rumahnya, ke hangat pendiangan, ke dekapan selimut, dan sebuah pelukan seorang perempuan agung yang kita kenali sebagai Khadijah. Kepada lelaki berselimut itu, Khadijah menyakinkannya, bahwa apa yang baru saja suaminya alami itu bukanlah sebuah mimpi apalagi omong kosong. Malam itu, di rumahnya yang sederhana itu, firman Allah diartikulasikan untuk pertama kali  dalam kata-kata yang dapat didengar oleh orang lain. 

Bagaimana memahami kisah diturunkannya firman Allah kepada Muhammad dalam perantara Jibril di Gua Hira’ secara rasional? Faktualkah pengalaman itu? Apakah ia dapat dibuktikan secara empiris? Betulkah dalam Jibril berwujud seorang lelaki sebagaimana dituturkan dalam narasi Aisyah dan Zubair? 

Manusia produk rasional Abad 21, barangkali akan mencoba memahami peristiwa mukjizat tersebut menggunakan pendekatan neuro-psikiatri tentang kondisi kesadaran yang berubah (Altered Stated of Conciousness). Para pertapa soliter yang kekurangan tidur, kebanyakan puasa, ditambah meditasi yang intens, menurut neuro-psikiatri, akan mengalami perubahan kondisi kesadaran yang signifikan. Para saintis tersebut sejatinya hanya ingin mengatakan bahwa pertemuan sakral Muhammad dengan Jibril sekadar halusinasi yang tercipta dari kombo lambung keroncongan dan mata yang kecapaian. Apakah penjelasan seperti ini menjawab persoalan? Sayangnya tidak. Tidak sepenuhnya. Yang tidak tersentuh dalam penjalasan ala logos seperti itu adalah pengalaman mengenai peristiwa bersangkutan. Ia, baru menyentuh efek fisiknya belaka. Pengalaman religius itu pada akhirnya tak tersentuh oleh logos. Tak akan. Ia tetap berselimut kabut misteri dan berselubung teka-teki. Namun, pengalaman mukjizat diturunkannya wahyu masih kalah kontroversial dan penuh teka-teki jika dibanding Perjalanan Malam atau yang sering kita kenal sebagai Isra’  wal Mi’raj. Perjalan Malam adalah teleportasi yang melintas batasan ruang dan waktu, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa di Yerusalem, dan dari Yerusalem ke Sidratul Muntaha. Kisah ini merupakan pengalaman nabi yang begitu penuh dengan simbol—persis seperti cara kerja mitos. Terhadap kisah-kisah begini, tentulah akal kita akan dibuat kewalahan jika berhasrat menyentuh esensinya dalam jangkauan rasionalitas.

***

Malam itu, Rasulullah Muhammad Saw. pergi seorang diri ke Kakbah untuk berdoa. Di sana, ia jatuh tertidur dan dibangunkan oleh malaikat Jibril. Saya bayangkan beliau tidur dalam kondisi fisik dan psikis yang letih. Di masa awal-awal kenabian dan tahun-tahun kesedihan (Amul Huzn) itu, hari-hari yang dijalani-Nya betapa kian terasa berat. Penentangan demi penentangan, fisik dan verbal, berdatangan dan diarahkan kepada-Nya. Di sisi yang sama, dua orang (Sayyidatuna Khadijah dan pamannya, Abu Thalib) yang selama ini tugur menjadi tiang penopang kerapuhan sisi manusiawinya, telah dipanggil oleh Tuhan mendahuluinya. Ketika Nabi Muhammad Saw. terbangun dari tidurnya, Jibril lantas menaikkannya ke punggung seekor kuda bersayap. Ya, kuda itulah yang kemudian kita kenal sebagai Buraq (Petir); tunggangan Nabi ketika menempuh trayek perjalanan malam dari Masjidil Haram menuju ke arah kiblat pertama, Yerusalem, dan dari Yerusalem menuju ke Sidratul Muntaha

Kisah ini, tentu saja, akan sangat bertentangan dengan logika manusia pada umumnya. Bagaimanapun, Isra’ wal Mi’raj adalah peristiwa yang lebih kepada persoalan keimanan alih-alih peristiwa faktual. Inilah yang menyebabkan, penulis-penulis biografi Rasulullah seperti Ibnu Ishaq mengalami dilema berat. Bukanlah sebuah situasi yang gampang menjadi seseorang yang beriman di satu sisi, sekaligus seorang penulis riwayat dengan tanggung jawabnya di sisi yang lain. Sementara bahkan sahabat terdekat Rasulullah sendiri dibuat gelisah akan bagaimana bisa peristiwa tersebut terjadi, kekontroversialan peristiwa Isra’ wal Mi’raj terus bergaung sampai sekarang, memicu berbagai pandangan spekulatif dari masa ke masa, dari kalangan fundamentalis agama hingga penganut atheis. 

Para Atheis Pro-Sains tentu, sebagaimana umumnya kelompok pembenci beliau, akan berusaha membaca kisah tersebut setekstual mungkin—mengabaikan bahwa betapa kisah ini penuh dengan simbol verbal. Mereka, sama halnya dengan orang dari sejumlah kabilah yang seketika mengumpat, “Gila!”. Mereka tak ubahnya orang-orang Makkah yang mencemooh Nabi, “Orang gila mana yang bualannya lebih buruk daripada Muhammad dan siapa yang kan percaya apa yang keluar dari mulutnya yang dusta itu?” Dan mereka, sama halnya dengan orang-orang yang menimpali, “Jika dari Makkah ke Syiria saja sebuah kafilah butuh satu bulan perjalanan, bagaimana mungkin dari sini ke Yerusalem hanya ditempuh Muhammad dalam waktu semalam?”. Saudara seimanku, seluruhnya, Tidakkah, pertanyaan-pertanyaan sangsi kaum jahiliyah itu pun identik dengan komentar-komentar umat muslim Indonesia par excellence di berbagai lini masa dan media sosial belakangan hari? Allahua’lam.

Bagaimanapun itu, kita patut bersyukur memiliki sosok seperti Ibnu Ishaq, yang, secara bijak mampu menegaskan sikap. Apakah Isra’ wal Mi’raj hanyalah mimpi atau pengalaman empiris, atau mungkin sekadar sebentuk visi kenabian belaka, baginya, yang terpenting bukanlah bagaimana kejadian tersebut terjadi dan dapat dijelaskan, melainkan apa makna yang dapat diambil darinya. Saya sangat-sangat tersentuh lagi sepakat dengan pandangan ini. Apa yang disampaikan oleh Ibnu Ishaq mengisyaratkan satu hal penting yang kerap dilupakan banyak orang, padahal inilah esensinya. Hal penting itu adalah ‘makna sebuah peristiwa’. Untuk sampai kepada makna itu, maka, tiada jalan selain mendudukkan pengalaman mukjizati tersebut seperti halnya ‘metafora’ dalam sebuah ‘puisi’ yang harus kita selami tidak saja dengan pikiran yang jernih melainkan juga hati yang teguh.

Bila kita pahami secara metaforis, Isra’ wal Mi’raj, Perjalanan Malam, men-sugestikan sebuah trayek dari alam yang fisik menuju alam yang astral, dari dunia materi menuju non-materi. Puncak daripada Perjalanan Malam tersebut ialah ‘pertemuan’ seorang Hamba dengan Tuhannya. Apa yang lebih indah dari itu? Perjalanan Nabi Muhammad Saw. dari Yerusalem menuju Sidratul Muntaha, menyimbolkan bagaimana Baginda Nabi melewati batas pamungkas alam yang jasadi. Sidratul Muntaha, kita tahu, secara harfiah berarti “Batas Terakhir (Muntaha) Pohon Bidara (Sidrah)”. Sidratul Muntaha, dengan demikian, merupakan simbol representatif sebuah batas terakhir, hijab pemungkas, yang akhirnya dapat disibak oleh Nabiyullah Muhammad Saw. sehingga Dia dapat bertemu dengan-Nya dengan jarak dan gambaran yang mustahil kita jangkau dengan akal dan kata-kata.

Untuk bertemu dengan-Nya, Sang Eksisten Tertinggi itu, seorang hamba tidak cukup hanya suci secara jasmani, melainkan wajib suci secara ruhani. Entah sebuah kebetulan ataukah bukan, Isra’ wal Mi’raj seakan-akan terhubung dengan kisah mengenai peristiwa pembedahan dan penyucian diri Sang Rasul oleh Malaikat Jibril. Imam Bukhari dalam sebuah hadis meriwayatkan, sebelum berangkat, Jibril membelah dada Baginda Nabi, membersihkannya dengan air zam-zam di sebauh bejana emas penuh hikmah dan iman. Mengapa makna dari kisah ini paralel dengan Isra’ wal Mi’raj

Kita tentu paham, Isra’ wal Mi’raj adalah tonggak awal ibadah shalat disyari’atkan bagi umat. Shalat, pasca peristiwa Mi’raj, menjadi sebuah jalan atau thariq yang mutlak harus ditempuh oleh umat muslim selaku salik untuk menuju ke puncak yang hakiki, makna paling esensial, yakni bertemu dengan Sang Maha Kudus. Dan untuk menemui Yang Maha Kudus, kesucian lahir dan batin merupakan pra-syarat wajib yang harus dipenuhi. Setelah lahir dan batin Nabi Muhammad Saw. disucikan dari segala bentuk najis dan cemar, dari segala macam egosentrisme dan individualisme, beliau pun mampu menembus hijab terakhir, Sidratul Muntaha, Batas Pemungkas Pohon Bidara, meninggalkan alam jasadi, melampaui realitas fisik, meningkahi logika pikiran, menuju ke haribaan-Nya. Peristiwa pembedahan dan penyucian dada Nabi oleh Malaikat Jibril tersebut barangkali menjadi semacam gambaran paling awal dari syari’at wudhu (Allahua’lam). 

Secara kronologis, dalam kaitannya dengan Peristiwa Isra’ wal Mi’raj, Amul Huzn atau tahun kepiluan yang terjadi sebab kematian dua orang tempat Baginda Nabi bernaung dan berlindung (Khadijah dan Abu Thalib) kiranya juga tidak cukup hanya dibaca sebagai kebetulan semata-mata.Paralelitas kedua peristiwa ini, seakan mensugestikan sebuah perubahan yang radikal dalam diri Baginda Agung Muhammad Saw. di masa depan. Walau ini terkesan kejam untuk disampaikan, bagaimanapun, dipanggil-Nya ke Rahmatullah kedua sosok yang berperan vital sebagai benteng terakhir yang melindung beliau secara fisik dan psikis itu, menggeser begitu jauh kebergantungan beliau dari sosok manusia kepada Allah SWT semata-mata. Serangkaian peristiwa tersebut adalah sebuah inisiasi yang membuat Rasulullah tercerabut dari segala macam ikatan personal dan komunalnya, dari segala lecun individualisme dan egosentrisme kesukuan, untuk diganti dengan pengikatan secara kaffah kepada Allah SWT. Islam secara harfiah berarti pasrah, takluk.

***

Dalam sebuah peristiwa mukjizati yang penuh dengan tamsil, pemaknaan secara harfiah memang tidak tepat. Kebenaran faktual sudah bukan lagi perkara penting. Makna dari pengalaman itulah yang akhirnya lebih mengemuka serta penting dikemukakan. Inilah yang dikehendaki oleh Ibnu Ishaq dalam salah satu riwayatnya. Dia mengatakan, “…di sana (di dalam Isra’ wal Mi’raj) itu, terdapat pelajaran bagi orang-orang yang pandai, dengan petunjuk, ampunan, dan menguatkan bagi yang beriman.” Apa yang disampaikan secara terang oleh Ibnu Ishaq itu, penting untuk kita ketengahkan sebagai penutup tulisan ini. Bagaimana pernyataan tersebut relevan untuk menyikapi secara bijak apa yang dialami secara irrasional oleh lelaki tua, kiai kampung dari sebuah dukuh di Gunung Kidul, imam masjid dengan jemaat yang tampak segan oleh kesederhanaan dan keluguan ucapannya itu. 

Pengalaman kosmis yang menghubungkan antara Mbah Benu sebagai hamba dengan Allah Swt. sebagai Tuhannya itu memanglah tak masuk di akal. Dan, memang, tidak untuk dicerna secara tekstual bermodal akal semata-mata. Lebih-lebih, akal yang bebal dan malas menilik ke dalam makna yang lebih intim dan sublim. Pengalaman tersebut, dalam kadarnya yang paling zarah, sebagaimana Isra’ wal Mi’raj yang kontroversial, mengandung pelajaran bagi orang yang mampu berpikir secara jernih. Ia juga sekaligus menjadi wahana penguatan bagi orang yang beriman.

Bagi orang yang hatinya telah kalis dari debu dan noda; yang telah mampu melepaskan dirinya dari segala bentuk ke-aku-an diri, pengalaman Mbah Benu kiranya akan jadi semacam nada dering. Nada dering itu mengirimkan notifikasi pada kesadaran kita. Bahwa realitas, pada dasarnya, selalu melebihi apa yang mau direpresentasikan oleh manusia. Demikian halnya pengetahuan yang tak terbahasakan, senantiasa lebih berjelempah jumlahnya daripada yang dapat terbahasakan oleh manusia. Sejarah telah mencatat, umat manusia sudah berusaha memanifestasikan ke-agungan Yang Ilahi melalui berbagai entitas fisik: kenisah yang megah, kubah yang agung, menara yang menjulang, patung bertatah permata, pilar berkelir emas, renungan-renungan filsafat, eksperimen-eksperimen sains, hingga metafora-metafora syair. Dan, apakah Yang Maha Tak Terjangkau itu kemudian tergambar melalui segala hal itu? Barangkali. Namun, tentu tak sampai seluruhnya. Tak akan. Dia tetap akan tetap bersaput kabut “misteri”, dan justru karenanyalah, iman akan senantiasa relevan untuk dipertahankan. 

Saya pribadi sebetulnya tidak hendak mengimani klaim beliau sebagai sebuah kebenaran, tetapi saya pun sekaligus juga tidak hendak membantahnya, apalagi dengan kecaman. Bahwa menjadikan pengalaman yang melampaui jangkauan nalar tersebut sebagai dasar penentuan 1 Syawal, saya pikir bukanlah hal yang dapat dibenarkan. Terlebih, dideklarasikan secara terang di hadapan publik. Namun, saya sekaligus merasa, bukan tidak mungkin pengalaman tersebut terjadi. Dengan pikiran yang jernih, dan hati yang kebak oleh hikmah, orang akan berpikir setidaknya dua sampai tiga kali untuk menghakimi apa yang dialami secaras irrasional oleh Mbah Benu sebagai bualan lelaki uzur. Lupakah kita bahwa Tuhan terlalu Maha Kuasa untuk sekadar tak mampu membuat yang tak mungkin menjadi mungkin? Allahua’lam.

Ponpes Bustanul Arifin, 28 Ramadhan 1445 H

Penulis: Yohan Fikri



Related

Paweling 6900231586989793212

Post a Comment

  1. Maybe some people will say "Membandingkan mbah benu dengan proses kerasulan muhamad bukanlah sesuatu yang apple to apple."

    Yeah, maybe yes maybe no...

    However, ya kalau menurutku (Jika benar-benar murni secara nalariah) itu sejatinya adalah peristiwa yang serupa.

    Dalam berbagai kepercayaan pun (bahkan di aku) esensial tertinggi manusia dalam berspiritual adalah mampu mengkomunikasikan diri terhadap Sang Maha Tinggi.

    Namun, Abrahamic menerapkan konsep yang berbeda dengan itu.
    Kendati memahami tuhan melalui proses spiritualitas yang panjang, mereka justru menggunakan konsep based on story' sebagai pedoman berspiritual.

    Dan yah, menurutku perjalanan yang dilakukan mbah benu adalah sesuatu yang besar dalam benak spiritualitas (dia).

    Tapi kembali lagi, sebenarnya benu ini menganut konsepsi spiritual yang mana??
    Tentu dia mengatasnamakan diri sebagai konsepsi Abrahamik, tapi pada faktanya dia menggunakan konsepsi lainnya..

    Ya, tidak lebih dari sekedar orang yang tersesat dalam perjalanan spiritualitasnya.

    Wkwkwk, entahlah.. Hanya opiniku belaka...

    Salam untuk Mas Yohan Fikri,
    Tulisan yang luar biasa:)
    Mungkin saya akan mengutibnya untuk tugas akhir Pendidikan Kepercayaan saya😁🙏🏻

    ReplyDelete

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item