Aktivisme Hari Ini: Sebuah Pengingat untuk Kawanku Si Paling Aktivis

Sumber: Noor/Bal, Balairung Press  Paweling.Com-  Sebelum masuk dalam pembahasan, penulis ingin memberikan konfirmasi bahwa tulisan ini ditu...

Sumber: Noor/Bal, Balairung Press 

Paweling.Com- Sebelum masuk dalam pembahasan, penulis ingin memberikan konfirmasi bahwa tulisan ini ditulis dari sudut pandang penulis sebagai seorang mahasiswa biasa yang tak paham perpolitikan kampus yang elegan. Sebuah respon yang bersifat otokritik, menjadi penyebab tulisan ini ada. Diharapkan pembaca nantinya dapat memahami tulisan ini secara objektif dengan pikiran yang terbuka dan legowo

Kita mengenal perguruan tinggi sebagai tempat penggodokan pengetahuan di kancah akademis. Di dalamnya pula perguruan tinggi dijadikan sarana bagi sebagian orang untuk menjadi batu pijakan dalam mencapai cita cita yang ingin diraihnya. Maka dalam kasus ini, perguruan tinggi bersifat heterogen; semua orang yang ingin masuk dipersilahkan daftar, tanpa memperhatikan latarbelakang dari setiap pendaftar, sebab tujuan akademis adalah keterbukaan. Dan seharusnya mahasiswa bisa mendapatkan apa yang seharusnya ia dapatkan.

Berbicara soal mahasiswa, tak dapat dilepaskan dari dinamika pembentukan karakter setiap individu, keterbukaan di perguruan tinggi memberi akses bagi mahasiswa untuk mengekspresikan dirinya sesuai minat bakat yang ia miliki. Munculnya perbedaan minat ini ditengarai sebagai titik awal munculnya pembagian  tipe mahasiswa atau sering kita sebut sebagai tipologi mahasiswa. Salah satu tipe mahasiswa yang menonjol adalah aktivisme.

Menurut Eko Prasetyo, aktivisme adalah individu yang memiliki kesadaran sosial tinggi dan komitmen kuat terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran. Mereka tidak hanya mengkritik status quo, tetapi juga bertindak nyata untuk membawa perubahan positif dalam masyarakat. Meskipun menghadapi risiko dan tantangan besar, aktivis tetap teguh pada prinsip-prinsip mereka dan terus memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Sebab, bagi mereka, aktivisme adalah panggilan jiwa yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan komitmen yang kuat.

Sayangnya, aktivisme pada realita hari ini dianggap lebih unggul ketimbang mahasiswa yang lain (non aktivis), karena dalam dinamika perkuliahan, banyak aktivis yang merasa mempunyai jasa lebih dominan ketimbang yang lain; seorang mahasiswa yang tak aktif organisasi dianggap apatis; tak ikut demonstrasi dianggap nir intuisi. Tentu ketika kondisi makin merambah di benak mahasiswa, maka tidak disangsikan akan memicu munculnya sifat fanatisme. Mengutip pendapat dari Albert Einstein, "fanatisme adalah suatu keadaan pikiran yang terbakar oleh suatu ideologi, keyakinan, atau tujuan tertentu, yang ditandai oleh ketidakmampuan untuk melihat atau menerima pandangan yang berbeda."

Dalam pandangan ini, fanatisme bukanlah semata-mata tentang semangat atau dedikasi yang tinggi, tetapi lebih kepada sikap yang membatasi dan intoleran terhadap perbedaan. Seseorang yang fanatik pasti akan tertutup pikiran dan tindakannya, membatasi diri dalam sebuah dialektika. Mengacu kepada Derrida, hal ini karena pada dirinya sudah tumbuh sikap ekslusif, membuat kedangkalan berfikir terbatas pada satu perspektif tunggal yang ia yakini sebagai kebenaran sejati.

Polarisasi Membelah Komunitas

Dalam lingkungan perguruan tinggi, tempat di mana kebebasan berpikir dan berdialektika seharusnya menjadi landasan utama, hari ini kita melihat fenomena yang bertolakbelakang. Alih-alih menjadi tempat bertumbuhnya ide-ide segar dan diskusi yang konstruktif, perguruan tinggi malah menjadi arena konflik yang penuh dengan polarisasi dan ketegangan.

Pada permukaannya, perguruan tinggi menjadi wadah yang ideal untuk memperluas wawasan dan memperdalam pemahaman tentang dunia di sekitar kita. Namun, dalam realitasnya, gelombang fanatisme dengan cepat membelah komunitas mahasiswa; menciptakan kelompok-kelompok yang bertentangan, menjelma jurang yang semakin lebar di antara mereka. 

Mahasiswa yang semula bersama-sama mengejar ilmu dan bermimpi untuk masa depan yang lebih baik, kini terbagi berdasarkan ideologi politik, keyakinan agama, atau pandangan sosial. Dialiektika yang seharusnya menjadi jalan untuk memperdalam pemahaman bersama, terkubur dalam teriakan kemarahan dan retorika yang keras. Ruang bagi diskusi yang konstruktif semakin menyusut, digantikan oleh pertarungan verbal yang tak ada hentinya.

Dampak dari polarisasi ini dapat dirasakan secara nyata dalam kehidupan kampus. Kolaborasi antar kelompok menjadi semakin sulit, bahkan untuk tujuan yang seharusnya menjadi kepentingan bersama. Proyek-proyek penelitian, kegiatan sosial, atau acara akademik seringkali terhambat oleh ketegangan antar kelompok. Mahasiswa merasa semakin terisolasi, terjebak dalam kelompok-kelompok yang sama-sama mengkonsolidasikan pandangan mereka sendiri, tanpa adanya upaya untuk mencari pemahaman bersama.

Dalam situasi yang semakin memanas, kesenjangan antara kelompok-kelompok tersebut semakin sulit untuk diatasi. Tentu kondisi ini menciptakan lingkungan yang tidak sehat dan tidak produktif, yang jauh dari idealisme awal perguruan tinggi sebagai tempat bertumbuhnya ide-ide yang segar dan ruang dialektika.

Hilangnya Ruang Berdialektika

Dialektika, yang pada hakikatnya  menjadi jalan menuju pemahaman bersama tentang perbedaan pendapat, kini semakin terpinggirkan. Suara-suara yang berbeda, yang seharusnya menjadi tambahan berharga dalam pembentukan gambaran keseluruhan, malah seringkali dilihat sebagai ancaman yang harus diatasi dengan tegas. Dalam situasi mendapatkan informasi mengalir begitu deras dan keras, membuat kebenaran yang objektif sulit didapatkan.

Kehilangan ruang untuk berdialektika tidak hanya membuat mahasiswa mengalami kerugian, tetapi juga dirasakan bagi masyarakat secara keseluruhan. Lagi-lagi, berdialektika adalah titik awal bagi perkembangan dan kemajuan. Tanpa adanya ruang berdialektika yang sehat, peluang untuk mencapai solusi yang memuaskan bagi masalah-masalah yang kompleks semakin menipis.

Dalam kondisi yang demikian, peluang untuk mencapai pemahaman bersama dan solusi yang memuaskan pun semakin tipis; tertutup oleh bayangan gelap dari fanatisme yang merajalela. Akhirnya, terjalinlah pertarungan retorika yang keras dan tidak toleran, di mana setiap pihak terjebak dalam lingkaran ego dan kepentingan kelompoknya sendiri.

Ghirah suci dari aktivisme adalah perjuangan murni untuk masyarakat, memegang teguh kebenaran, dan membela yang lemah. Aktivisme adalah jalan terjal nan sulit bagi seorang akademisi, diperlukan niat dan mentalitet tangguh untuk menyusurinya. Seorang aktivisme sejati tak akan mau memisahkan diri pada setiap sendi masyarakat. Ia berbaur menyatu, sifatnya terbuka, pikirannya luas nan luwes, semangat itu pula yang perlu kita pelajari bersama untuk menuju aktivisme yang ideal.

Penulis: Ady Vandea


Related

Kamanungsan 7034807932855577158

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item