Pendidikan Tinggi Kebutuhan Tersier? Pantes UKT Naik!
Sumber: LPM Analisa Paweling.Com- Ya, tulisan ini saya buka dengan keluhan serta tarikan nafas panjang ketika mendapati berita kenaikan Uang...
Sumber: LPM Analisa |
Paweling.Com-Ya, tulisan ini saya buka dengan keluhan serta tarikan nafas panjang ketika mendapati berita kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang sedang naik. Problem ini lagi-lagi muncul di dunia pendidikan kita dengan melibatkan finansial atau ekonomi mahasiswa. Akibatnya, sebagian dari calon mahasiswa memilih mundur dan mengubur mimpinya karena mendapati UKT Nabi adam.
Saya tidak punya cukup kuasa untuk menyalahkan hak otonom PTN-BH dalam mengatur keuangan perguruan tinggi atau pun karena sedikitnya subsidi dari pemerintah diberikan kepada perguruan tinggi. Toh, saya tidak tahu menahu secara mendalam. Namun, yang perlu diperhatikan adalah dampak dari kenaikan UKT terhadap penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Problematika ini memang cukup ruwet dan mengakibatkan problem yang bisa berkepanjangan. Pertama, Ruwet di sini menciptakan pertanyaan-pertanyaan yang kemungkinan besar hanya bisa terjawab dengan asumsi, sebab tidak ada bukti kongkret yang kuat dijadikan alasan. Sebenarnya siapa yang mempunyai kepentingan di sini? dan apakah UKT ini benar kembali ke mahasiswa atau malah masuk ke kantong birokrat?
Sebab, nilai UKT yang sedemikian tinggi itu banyak mahasiswa yang belum mendapatkan hak-hak dalam proses belajar. Sementara penggolongan UKT juga tidak melihat kondisi masyarakat secara keseluruhan. Akhirnya pemerataan yang seharusnya mampu berpihak kepada siapa saja yang ingin melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi terhambat. Maka tidak heran jika persoalan ini menimbulkan kerancuan pada kualitas pendidikan kita saat ini.
Kedua, problem berkepanjangan ini bisa memecah fokus mahasiswa. Di lain sisi, secara otomatis mereka akan tergiring untuk memenuhi pembayaran UKT terlebih dahulu sebelum merasakan bangku perkuliahan. Mencari pekerjaan atau tambahan uang bulanan, kemungkinan besar menjadi kegiatan yang tidak bisa dihindari. Mahasiswa seakan-akan dibuat lelah dengan adanya UKT yang semakin melejit. Tentu saja ini juga berdampak pada proses belajar, terlebih bagi mahasiswa yang kurang mampu. Dan yang paling disayangkan, banyak beasiswa yang salah sasaran.
***
Sedikit bercerita, beberapa hari lalu dalam unggahan salah satu akun di Instagram. Saya mendapati berita tentang eksploitasi yang terjadi di salah satu suku di pedalaman hutan Kalimantan. Eksploitasi tersebut terjadi ketika ada seorang pengusaha yang ingin menebang pohon di hutan tempat suku tersebut tinggal. Lalu, si pengusaha memberikan selembar kertas kesepakatan dan meminta salah seorang dari mereka untuk memberikan cap jempol di atas kertas kesepakatan itu. Mereka tidak mengerti apa maksud dari si pengusaha bertamu ke wilayah mereka. Ternyata eh ternyata, lembaran kertas itu merupakan kesepakatan pengambilan kayu di hutan yang mereka tinggali. Mereka tidak mengerti apa maksud dari tulisan yang ada di kertas itu karena mereka tidak bisa membaca.
Di sinilah kita dapat melihat penindasan di lakukan semena-mena terhadap orang yang tak bisa membaca dan ini merupakan titik terendah suatu bangsa yang jauh dari kodrat sebagai manusia. Padahal, salah satu cara untuk melihat harkat martabat suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas pendidikannya. Namun dengan adanya kenaikan UKT yang tidak logis ini, membuat pendidikan tinggi sulit dijangkau oleh kelompok masyarakat menengah ke bawah.
Apa sebenarnya tujuan dari pendidikan sehingga kenaikan UKT bukanlah hal yang bisa dinormalisasi? Coba kita lihat UUD 1945 pasal 31. Dengan jelas di sana tertulis bahwa tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia. Artinya, pendidikan nasional harus dirasakan oleh setiap warga negara. Dalam menyelenggarakan pendidikan di Indonesia, pemerintah bukan hanya untuk memenuhi hak setiap warga negara. Namun, itu juga termasuk kewajiban pemerintah selaku yang bertanggung jawab terhadap terselenggaranya pendidikan bangsa Indonesia.
Kemudian, pada hakikatnya, pendidikan harusnya dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas untuk meraih cita-cita yang mulia. Maka pendidikan yang layak tidak hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang mampu saja. Sebab dalam UUD 1945 pasal 31 sudah dijelaskan bahwa: (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan Pendidikan, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
***
Pendidikan dan manusia tidak dapat dipisahkan. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memanusiakan manusia sehingga manusia dapat mencapai kodratnya. Ki Hajar Dewantara beranggapan manusia sebagai komponen paling penting dalam pijakan untuk melakukan suatu perubahan, terutama dalam lingkup pendidikan. Untuk memajukan pendidikan Indonesia itu sendiri, Ki Hajar Dewantara menolak adanya pendirian-pendirian sekolah oleh Pemerintah Kolonial yang tidak bisa dirasakan oleh semua golongan masyarakat pada waktu itu.
Akhirnya Ki Hajar Dewantara mempunyai inisiatif tersendiri, yaitu dengan mendirikan Taman Siswa yang bertujuan untuk memberikan kesempatan masyarakat bumi putra untuk memperoleh kesempatan belajar, juga sebagai alat perjuangan melawan Kolonial. Berdirinya Taman Siswa ini juga merupakan sebuah usaha untuk menghilangkan sekat-sekat di dalam dunia pendidikan, yang menurut Ki Hajar Dewantara, sebagai penghalang untuk menghantarkan manusia mencapai kodrat sebagai makhluk istimewa dan mulia di banding makhluk hidup lainnya.
Sedangkan dalam kondisi hari ini, pendidikan sebagai sesuatu yang penting dalam kualitas suatu bangsa. Maka sekali lagi, pendidikan seharusnya dapat dirasakan oleh semua masyarakat. Sebab tanpa pendidikan yang berkualitas apakah suatu bangsa bisa mengalami kemajuan? Tentu saja tidak. Yang ada malah mempunyai mental kolonial dan mudah dieksploitasi.
Akhirnya kita perlu melihat-menerapkan konsep pendidikan yang dibawa oleh Ki Hajar Dewantara sebagai figure bapak pendidikan Indonesia. Ki Hajar Dewantara melihat pendidikan sebagai sesuatu yang primer yang harus ada pada setiap manusia. Dan pendidikan yang diterapkan oleh Ki Hajar Dewantara di Taman Siswa adalah pendidikan yang merdeka juga sesuai dengan kebutuhan zaman; pendidikan yang dapat diintegrasikan dengan nilai-nilai luhur dan kekayaan budaya Indonesia, di mana hal ini berkaitan dengan kodrat alam peserta didik.
Penulis: Andre Gallentino