Melihat NU dari Luar Pagar

Paweling.Com- “Selama ini NU masih jamaah terus, sehingga tampang NU di luar menjadi aneh. Organisasi seperti ini kok enggak mati saja. Untu...


Paweling.Com-“Selama ini NU masih jamaah terus, sehingga tampang NU di luar menjadi aneh. Organisasi seperti ini kok enggak mati saja. Untuk ukuran organisasi, mestinya NU itu sudah bubar, tetapi kok tidak bubar...Sentuhan-sentuhan ke-jam’iyah-an (keorganisasian), dan bila dilihat dari kacamata organisasi, “Ini, organisasi apa, NU ini,” rapat tidak pernah quorum, keputusan-keputusan tidak mulus. Pokoknya tidak seperti organisasi”

— K.H. Mustofa Bisri dalam Tashwirul Afkar [1]


Makanya kalau yang bilang tambang haram, tambang haram, ya kita harus lihat dulu secara fikih, Tambang haram itu kan soal, haramnya itu karena asal-usulnya, cara pengelolaan, dan intifa’nya atau penggunaannya. Jadi, asal-usulnya, cara pengelolannya, dan penggunaannya itu yang bikin haram. Tapi memanfaatkan batu bara itu, tidak otomatis haram. Nah, kalau asal-usul, cara, dan penggunaannya, itu bukan cuma batu bara. Ayam goreng pun juga haram, jelas Gus Yahya Cholil Staquf (selanjutnya ditulis Gus Yahya) dalam pernyataan yang disiarkan secara langsung melalui kanal Tv NU. Pernyataan tersebut, disampaikan oleh Gus Yahya kepada publik guna menyikapi berbagai lontaran kritik masyarakat mengenai perizinan tambang yang diajukan PBNU, merespons terbitnya PP Nomor 25 Tahun 2024—ketika di saat yang sama, ormas-ormas keagamaan lain lebih memilih menolak dengan berbagai pertimbangan menyangkut kemaslahatan. Berbanding terbalik dengan mayoritas ormas keagamaan, PBNU, melalui pernyataan Gus Yahya selaku ketua, cenderung berpandangan bahwa sikap yang dipilihnya pun, sejatinya dimaksudkan demi kemaslahatan. 

Sengaja esai ringkas ini saya bubuhi tajuk demikian, sebab saya sadari bahwa betapa pun saya dapat dikata sebagai seorang NU totok sebab lahir dari keluarga (terutama bapak) yang berkiprah di NU, sejatinya saya toh tak juga dapat dibilang NU-NU amat. Saya bukanlah seorang Nahdliyin yang fanatik. Fanatisme dalam bentuk dan terhadap hal apa pun, tak saya sepakati sebab ia hanya kan menunjukkan seberapa dangkal dasar perigi di kepala seseorang. Saya misalnya, tak pernah dapat menerima feodalisme khas pesantren salaf NU, sebab meski Bapak saya sendiri mengenyam pendidikan pesantren sekaligus mengasuh pesantren, dialah yang justru menjadi figur yang mengajarkan pada saya untuk menentang hierarki-hierarki tersebut. Sebagai seorang Nahdliyin, saya juga bukanlah seseorang yang mau menerima berbagai sikap polarisasi, bahkan stigmatisasi, yang acap disampaikan kalangan Nahdliyin umumnya, mengenai misalnya, Muhammadiyah atau kepada kelompok-kelompok agama yang memiliki haluan berbeda dengan NU dalam beriman dan berislam. Segala hal yang saya sebutkan, sekadar sekelumit contoh, dan masih banyak contoh lain.

Singkatnya, saya selalu berupaya sedapat mungkin untuk meletakkan NU dan tokoh-tokohnya—yang kebanyakan dari mereka menyandang status ulama’—sebagai suatu problem. Hanya dengan cara inilah, saya kira, nalar kritis dapat diramut. Di lingkaran NU, saya yakin kita semua tahu, sosok ulama’ kerap menyandang dan disandangi status kultus. Mitos-mitos mengenai kisah-kisah karamah dan janji eskatologis versi praktis semacam barakah, makin menabalkan status keadiluhungan status sosial kalangan mereka. Tak khayal, segala hal yang difatwakan, berbagai sikap-tindakan yang dijalankan, seakan-akan kebas dari salah dan luput.  Hal ini akan semakin kompleks, manakala kasusnya ialah status ulama’ yang disandang seorang tokoh NU, ditumpuk dengan jabatan struktural di keorganisasian NU, baik di levelnya yang paling bawah maupun di tingkatannya yang lebih tinggi. Bagi saya, hal-hal yang demikian itu merupakan akar yang kan melahirkan sebuah kemandegan—jika bukan malah kemunduran.

Meletakkan NU—dengan diwakili oleh tindak-tanduk tokoh-tokohnya—sebagai sebuah problem, bagi saya adalah sebuah perwujudan cinta yang hakiki kepada ormas yang didirikan Hadratusyaikh Hasyim Asyari ini. Ini merupakan wujud kepedulian; semacam perasaan ‘cinta’ yang tak sekadar mandeg di dalam ‘perkataan’.  

Melihat NU dari ‘luar pagar’—yang menjadi tajuk esai ini—dengan demikian, adalah melihat dan menyikapi segala hal-ikhwal—terutama yang bersifat krusial mengenai dan menyangkut diri NU—dari luar palang batas. Dari luar garis-garis yang dapat menghalangi nalar kritis. Bagi seseorang Nahdliyin, sikap-sikap demikan ini, bagi saya, penting untuk dipupuk dan dibudayakan. Ketakutan, ketidakmampuan, dan/atau keengganan kita untuk mencoba melompat keluar pagar-pembatas itu, adalah sikap dasar yang dapat berpotensi membuat generasi muda Nahdliyin jatuh ke dalam jurang fanatisme dan taklid buta. Kepalsuan dan mitos yang dibungkus dalam wujud “kearifan bersama”, kata Dennett, bisa terus lestari sebab membahasnya terang-terangan dianggap sebagai sesuatu hal yang menakutkan, janggal, dan tabu.[2]  Oleh sebab itu, saya meyakini bahwa hanya dengan kemampuan melihat NU dari luar pagar, menyangsikan dan mempertanyakan “kearifan bersama” yang telah menjadi monumen kebenaran di dalamnya, kita dapat meneguhkan eksistensi diri kita sebagai ‘manusia’ yang diberkati nalar untuk berpikir.

Berpijak dari pernyataan yang tampak menjadi dan/atau dijadikan tendensi logis oleh Gus Yahya di atas, melalui tulisan singkat ini, saya ingin mengajak sidang pembaca sekalian untuk bersikap kritis, guna meninjau ulang sejauh mana tendensi Gus Yahya yang tampak enteng belaka dalam penyampaiannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan ke-adekuat-annya. Sebab, jawaban seperti apa yang disampaikan oleh Gus Yahya itu adalah jawaban yang tak sepenuhnya menjawab akar persoalan yang dikehendaki oleh masyarakat melalui kritikan-kritikan yang mereka lontarkan di berbagai forum dan kesempatan. Pernyataan tersebut lebih kepada sebuah logika retorika semata-mata, sebagai sebuah pembenaran atas tindakan, sehingga tersunjam pada sikap mengesampingkan, bahkan menafikan berbagai konsekuensi lain yang akan ditimbulkan ke depannya. 

▪ ▪ ▪

Dalam surat terbuka terhadap PBNU yang diberi tajuk “Assalamualaikum PBNU! Konsensi Tambang: Kepentingan Umat atau Elit?”, Front Nahdliyin untuk Kemaslahatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) menyebut bahwa NU pada dasarnya memiliki produk hukum yang cukup progresif atas problem kerusakan lingkungan hidup hasil bahtsul masail, baik yang digelar di dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas), Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama, maupun Muktamar Nahdlatul Ulama (Muktamar NU). Secara keseluruhan, hasil-hasil dari tukar-tangkap pikiran di berbagai forum tersebut adalah—dengan berbagai catatan dan pertimbangan—ketegasan sikap mengenai konsesi tambang dan segenap konsekuensi ekologis yang diimplikasikannya. Muktamar NU ke-29 yang ditaja di Pesantren Cipasung asuhan K.H. Ilyas Ruhiyat, 1-5 Desember 1994 katakanlah, menetapkan bahwa merusak lingkungan hidup dihukumi haram dan masuk kategori tindakan kriminal (jinayah). Demikian pula pada Muktamar NU ke-29 yang diselenggarakan di PP. Lirboyo, Kediri, Jawa Timur (21-27 November 1999), atau yang terbilang cukup mutakhir, yakni Muktamar NU ke-34 di Lampung pada 22-24 Desember 2021, yang sama-sama membahas seputar problematika agraria, kedua hasil forum ilmiah NU tersebut menetapkan haramnya perampasan tanah rakyat oleh negara. 

Berdasarkan segala produk-produk hukum nan progresif yang dihasilkan melalui berbagai forum ilmiah di atas, maka jelas sudah bahwa sambutan hangat PBNU melalui pernyataan retoris Gus Yahya atas konsesi tambang bagi ormas agama itu merupakan sebuah sikap ahistoris. Sikap melupa pada segala ikhtiar menjadikan NU sebagai jamiyah yang tidak saja berfokus pada komitmen menjaga akidah ahlussunah, melainkan juga konsistensinya dalam mewujudkan gagasan-gagasan fiqh al-biah (fikih ekologis). Gagasan-gagasan fikih lingkungan yang telah dikerahkan melalui forum-forum ilmiah sekaligus menjadi sebuah bentuk keterlibatan NU dalam menyikapi problematika global tersebut, alhasil musti berujung muspra. Menguap tanpa sisa hanya sebab sepasang lengan yang menyambut hangat didukung dengan narasi keagamaan yang melegitimasi kebenaran tindakan tersebut. Keterlaluankah jika sikap Gus Yahya itu kita sebut ahistoris? Berdosakah jika sikapnya, beserta jajaran kepengurusan struktural PBNU kita nilai sebagai hipokrit? 

▪ ▪ ▪

Saya tak ingin sama gegabahnya dengan Gus Yahya dalam menjawab dan memutusi sebuah persoalan. Untuk itu, saya akan menawarkan beberapa pandangan sebagai bahan tahswirul afkar kita bersama. NU, kita tahu, merupakan ormas agama Islam. Dan Islam, kita semua pun mengerti, merupakan agama samawi-monoteistik (kendati secara konsep, monoteisme tersebut masih dapat diperdebatkan). Maka, sejauh itu menyangkut monoteisme, etos daripadanya dapat dibilang, dibentuk dari dan oleh pembangkangan seorang nabi/rasulnya terhadap ketidakadilan yang terjadi pada setiap masanya masing-masing. 

Amos, Nabi Israel itu katakanlah, mengutuk segala bentuk perbuatan zalim dan lalim baik masyarakat maupun elit penguasa pada masa ia menjadi seorang utusan. “Aku tidak akan menarik kembali keputusan-Ku (karena kejahatan-kejahatan yang dilakukan Israel),” demikian firman Tuhan kepada kaum Israel, di dalam Yeyasa [3], “oleh karena mereka menjual orang benar karena uang dan orang miskin karena sepasang kasut; mereka menginjak-injak kepala orang lemah ke dalam debu dan membelokkan jalan orang sengsara; Sesungguhnya, Aku akan mengguncangkan tempat kamu berpijak seperti goncangan kereta sarat dengan berkas gandum.” Demikian halnya Yesus. Begitu pula Baginda Muhammad.

Dalam kaitannya dengan topik diskusi kita mengenai kedudukan alam di mata Islam, dapatlah kita ajukan satu rumusan pandangan bahwa kesadaran umat akan kehadiran Yang Ilahi di dalam ciptaan (tajalli/epifani), pada dasarnya merupakan salah satu fokus tujuan mengapa Qur’an diwahyukan. Di mata Islam, alam—yang, juga dikonsepsikan sebagai ayat persis sebagaimana setiap kalimat di dalam Qur’an dijenamai—dipandang sederajat dengan wahyu Ilahi yang setara dengan kitab suci Al-Qur’an.[4] Al-Qur’an banyak menegaskan ajaran Islam tentang alam yang disampaikan secara estetis alih-alih rasional, esoteris ketimbang didaktis. Hal ini merupakan sebuah fakta yang menarik. Selain karena mengingat bahwa Islam diturunkan di jazirah tandus, dengan masyarakat yang hanya memiliki sedikit waktu bersuntuk-ria menepekuri keindahan pastoral bentang alamnya, hal itu sekaligus juga menunjukkan bahwa betapa alam mempunyai kedudukan istimewa di mata Islam dan ajaran yang diusungnya—tentu saja, melalui perantara Rasul Muhammad. 

Secara historis, Makkah abad ke-7 adalah Makkah yang telah mengalami revolusi ekonomi-sosial secara mengejutkan. Wilayah yang rural itu bertransformasi secara masif menjadi daerah urban. Ia menjadi pusat perdagangan nan masyhur dan masyarakatnya, terutama suku Quraisy, hijrah dari egaliterianisme kehidupan nomaden, menuju individualisme kehidupan modern. Banyak dari kalangan Quraisy yang kemudian menjadi taipan. Mereka eksodus ke taraf kekayaan melampaui apa yang dapat sebelumnya mereka bayangkan. Kesenjangan ekonomi pun akhirnya menjadi sesuatu yang niscaya, dan meniscayakan lahirnya kelas masyarakat. Semangat komunal pun tatal dirajam ekonomi global. Padahal, di rahim alam nan gersang masalalu nomadik mereka itu, kesetaraan, kebersamaan, dan keadilan telah sekian kurun menjadi etos yang memungkinkan kehidupan suku Quraisy tetap sintas. 

Dalam perjalanan kehidupan personal Rasulullah Muhammad sendiri, bentang alam menjadi madrasah awal yang mendidik sikap dan cara pandang beliau dalam merevolusi secara radikal masyarakat jahiliyah Makkah di kemudian kala. Di rahim alam Badui, Muhammad belia dididik dalam etos egaliter. Ia diperhadapkan pada tabiat alam yang menetakkan rasa kejut sekaligus pukau. Perasaan terkejut dalam menyaksikan sifat-sifat alam yang terkadang bengis, anomali, dengan sendirinya melucuti ambisi bocah yatim Bani Hasyim itu, seluruhnya. Di saat yang lain, keindahan, kehangatan, atau kelimpahan yang dicawiskan alam kepadanya, tak pelak membuat perasaannya terpukau. Gurun pasir, padang sabana, tebing stepa, dan segala entitas yang berada dan dilintasi oleh kaum nomadik yang mengasuh masa belianya itu, menjadi realitas keseharian yang dekat kehidupannya. Alam, dengan demikian, telah berkali-kali menilaskan jejak sosial, kultural, dan bahkan spiritual, yang di kemudian waktu berimplikasi besar terhadap gagasan-ajaran beliau ketika ditahbiskan sebagai Rasul Akhir Zaman. Saya, kiranya tak perlu panjang-lebar sekadar untuk menjelaskan dan menegaskan betapa kedudukan alam di mata Islam dan perjalanan tumbuh-kembangnya amatlah signifikan, sehingga malah membuat tulisan ini jatuh sebagai ensiklopedia sejarah. 

Secara teologis, Qur’an sendiri telah berkali-kali (dengan repetisi-repetisi kata, frasa, dan kalimat-kalimatnya) menanyakan dan mengingatkan (dengan menyuguhkan narasi-narasi kontemplatif) bahwa Allah menghendaki umatnya tanpa terkecuali, untuk menjaga keseimbangan tatanan alam berdasarkan prinsip keadilan supaya tak sampai bergeser dari titik ekuilibriumnya. Betapa pun, di salah satu ayat-Nya, Allah telah berfirman bahwa Dialah yang telah menurunkan air berlimpah dan menyebabkan tanah terbelah, menumbuhkan bebijian, memutikkan anggur dan menghijaukan sayur-sayur, zaitun dan kurma, melebatkan rerumputan, serta merimbunkan perkebunan dengan bebuahan purwa-rupa, semata-mata untuk kesenangan manusia dan hewan-hewan ternaknya, Dia jugalah Allah yang sama, yang menitahkan kepada umat supaya menegakkan keseimbangan itu secara adil dan tak merusaknya di dalam ayat yang lain. Maka, berlebihankah jika kemudian kita katakan, sambutan hangat pengurus PBNU terhadap konsesi tambang sebagai sikap yang tidak saja sarat akan kepentingan politis para elit, melainkan juga mengesampingkan nilai-tujuan dari Al-Qur’an diwahyukan sehubungan dengan mandat kekhalifahan manusia di bumi?

Saya teringat sebuah pertanyaan yang disampaikan oleh seorang kawan beberapa hari yang lalu. “Aku ndak bisa membayangkan bagaimana nanti ketika terjadi konflik kepemilikan lahan karena pembukaan lahan tambang, Cak,” katanya mengawali perbincangan. “Misalkan, pengelola tambang itu adalah PBNU, dan masyarakat yang terdampak lahannya adalah orang-orang yang notabene adalah warga Nahdliyin itu sendiri, apa itu bukan berarti perang antara Nahdliyin melawan Nahdliyin, Cak?”. Melihat air mukanya, saya merasakan nada kesal dan kecewa. Sebuah sikap alamiah yang muncul dari kecintaannya terhadap ormas yang ia banggakan. Apa pun itu, pertanyaan asumtif tersebut pada akhirnya memang masuk akal belaka. Sah-sah belaka. Betapa hal tersebut sangat mungkin terjadi di dunia yang serba penuh kemungkinan ini. 

Gus Yahya, dan segenap jajaran elit kepengurusan PBNU, tentu dapat mengelak dari pertanyaan tersebut dengan mudahnya. Lagipula, respons normatif yang dia sampaikan sudah lebih dari cukup untuk sekadar menjawab dua pertanyaan yang kita ajukan di atas. Hujah dan dalil-dalil yang dicongkel dari kitab-kitab fikih gampang saja dirumuskan dan ditetapkan sebagai pembenaran, jauh lebih mudah daripada upaya merumuskan satu regulasi tata-kelola sumber daya alam yang maslahat sebenar-benarnya maslahat bagi umat. Bukankah dalam hal ibadah keseharian pun, kita pun biasa berkelit mengunakan piranti yang dicawiskan nalar fikih begitu rupa?

Akan tetapi, apa yang dinyatakan oleh Gus Yahya bahwa selagi asal-usul, cara kelola, dan orientasi pemanfaatan dari tambang tersebut dimaksudkan untuk mencapai pendayagunaan sumber daya alam secara adil nan maslahat dapat dihukumi halal, sekian sidik jari dan jejak kaki kerusakan lingkungan di lapangan dengan sendirinya bakal menepis argumen gegabah tersebut. Keadilan yang digembar-gemborkan di muka, jauh lebih mungkin menjadi gema yang lekas jadi sayup, ketimbang terintegrasi di jantung ideologi organisasi yang kan terwujud dalam implementasi. Kendatipun Gus Yahya juga sudah menimpali pernyataannya, bahwa pertambangannya (jadi direalisasikan) bersifat berkelanjutkan, berdasarkan sekian rekam-jejak industri tambang yang sudah-sudah, bukankah kita tetap saja patut sangsi? Keberlanjutan itu, lebih mungkin akan berlanjut menjadi ‘isapan jempol’ sang ketua, apabila di saat yang sama, berbagai hal dan problematika yang esensial diabaikan begitu rupa. Suatu hal yang tidak akan dapat dilihat oleh Gus Yahya melalui kacamatanya yang berkabut. Tidak juga dapat diketemukan olehnya, bila hanya berkutat dan berkelit dengan hujah kitab-kitab turats

Pahamkah Gus Yahya dan segenap elit struktural PBNU, bahwa tanah, dalam berbagai khazanah budaya, bermakna jauh melampaui fungsi ekonomisnya semata-mata? Pahamkah mereka, bahwa tanah adalah sangkan paraning dumadi? Bahwa tanah adalah asal-usul sekaligus takdir manusia? Saya jelas tak ingin argumen-argumen saya juga terjerembab di lembah omong-kosong seperti pernyataan normatif Gus Yahya. 

Bagi para perempuan Mollo, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur misalnya, sejumlah vegetasi hutan yang dianggap oleh Dinas Kehutanan sebagai alam yang mandul, justru merupakan lokus sakral dan identitas kultural mereka. Darinya, bahan-bahan untuk menenun—aktivitas yang ditransmisikan secara turun-temurun oleh generasi perempuan yang lebih tua kepada generasi perempuan yang lebih muda—diperoleh. Demikian halnya dengan sungai utama suku Kamoro, Papua, yang mengalami pendangkalan sebab sedimentasi limbah tailing PT. Freeport Indonesia. Sedimentasi sungai itu menyebabkan kerja-kerja domestik kaum perempuan Kamoro (suku Kamoro adalah suku yang menganut sistem matriarkal) sekaliber berburu karaka menjadi lebih susah. Lebih jauh lagi, pengetahuan lokal yang diwariskan secara turun-temurun dalam membuat Imii (semacam alat serupa jaring penangkap ikan) pun lambat-laun menuju ambang kepunahan.[5]  

Mengertikah Gus Yahya bahwa tanah bagi sejumlah masyarakat seperti di Papua, juga diimajinasikan sebagai ‘tubuh’ (imajinasi alam sebagaimana berlaku di Papua, juga banyak ditemui di kebudayaan masyarakat adat di sejumlah daerah)? Sehingga, sesiapa pun yang merusak kesuburan tanah, ia berarti merusak tubuh. Sesiapa yang memutilasi hutan berarti sedang memertontonkan tonil pembantaian. Dan, barang siapa merenggut hak kepemilikan masyarakat terhadap tanah yang sudah ratusan bahkan ribuan tahun mereka openi dan ngopeni mereka, berarti merudapaksa hak atas kepemilikan tubuh mereka. Pahamkan Gus Yahya bahwa tanah, secara filosofis, bagi sebagian etnis merupakan identitas? Bahwa tanah, bukan saja pondasi di mana ekonomi ditegakkan, melainkan juga batu pijakan bagi sejumlah budaya masyarakat bersangkutan?

▪ ▪ ▪

Saudaraku, wabilkhusus warga Nahdliyin yang dirahmati Allah, dewasa ini, kita—nyaris tanpa kecuali—hidup di dalam terungku abad visual. Media dan portal-portal berita menjadi basis sebuah citra individu atau kelompok dibangun. Melalui sebuah unggahan foto, didukung cuplikan video, serta takarir-takarir eufemistik, citra seseorang atau kelompok tertentu diteguhkan. Maka alangkah baiknya, kita jangan mudah terkecoh dengan label-label politis seperti hilirisasi, reboisasi, ekonomi hijau, atau seperti yang diklaim oleh Gus Yahya tempo hari, tambang berkelanjutan

Media sosial dewasa ini turut andil dalam strukturasi kekuasaan. Ia menjadi medium hegemonik, kontrol komunikasi dengan model satu arah, yang tujuannya ialah untuk mengampanyekan branding awarness, membangun citra serba-baik semisal visi humanis, ekologis, dan/atau agenda filantropis kepada publik guna menutup bopeng dan borok kepentingan para pelakunya. Itulah yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia di tanah Papua. Sementara berbagai fakta ironis di sana menunjukkan bahwa masyarakat adat Papua menjadi orang asing di tanah sendiri, tercekik, tersisih, dan terancam, orang-orang kebanyakan—barangkali di antaranya adalah jajaran kepengurusan PBNU—hanya tahu bahwa PTFI sudah mengiringi proyek mereka dengan prinsip yang dilandaskan pada mining for life

Wacana Sustainable Development Goals (SDG’s) satu contoh lain, telah banyak disebut sebagai sebuah program yang tidak hanya kontradiktif, tetapi juga problematis. Ia disebut-sebut merupakan sebuah green washing (semacam istilah keren untuk lempar watu sembunyi tangan) negara-negara maju atas kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas industri kapitalisme ekstraktif yang mereka cengkramkan di negara lain.[6]  Maka saya pun sesuara dengan apa yang dituturkan oleh Vandana Shiva bahwa segala hal yang vital, semisal sumberdaya kehidupan yang ada di bumi, yang menopang jejaring rapuh kehidupan, sedang dalam proses diprivatisasi, dikomodifikasi, dan dicengkeram oleh korporasi. Setiap jengkal tanah yang menyokong kehidupan dan mata pencaharian penduduk pribumi dan komunitas-komunitas petani direnggut, hingga memicu perang perebutan tanah. Setiap tetes air yang mengalir di sungai-sungai mereka dijarah sehingga memicu perang air. Hutan-hutan dikomodifikasi menjadi hutan komersial, dan fungsi ekologi mereka menjadi komoditas yang disebut dengan “ekonomi hijau”.[7] 

Pertanyaan seorang kawan di atas, di saat kalimat ini saya tulis, membayang di pelupuk mata. Bukan tidak mungkin. Bukan tidak mungkin hal tersebut kelak terjadi. Apakah kemungkinan-kemungkinan mengerikan demikian ini sudah dipertimbangkan oleh Gus Yahya dan segenap jajaran pengurus PBNU, jauh-jauh waktu sebelum mereka menyambut perizinan tambang bagi ormas keagamaan tersebut dengan gegap-gempita? 

▪ ▪ ▪

Menyambut hangat bahkan menjadi ormas agama yang pertama-tama mengajukan izin tambang kepada pemerintah, adalah sebuah sikap yang, dalam hemat saya, telah serong begitu jauh dari basis filosofis Nahdlatul Ulama didirikan. Bukanlah cerita yang asing di cungkup telinga kita, bsebelum NU akhirnya menjadi jamiyah yang resmi dibentuk, Syaikhona Cholil Bangkalan mengutus seorang santrinya (Kyai As’ad Syamsul Arifin) untuk memberikan sebatang tongkat dan senarai ayat Thaha (17 s.d 23) yang mengisahkan mukjizat Musa kepada Hadratusyyaikh Hasyim Asyari, yang saat itu, cemas lantaran istikharahnya tak kunjung menerbitkan sezarah pun isyarah. 

Dalam penjelasan Kyai Makki yang dilansir NU Online, tongkat tersebut adalah sebuah bentuk isyarat komando dalam pergerakan organisasi yang terorganisir dan terpimpin. Pria yang masih merupakan dzuriyah Syaikhona Cholil Bangkalan itu pun menjelaskan, di dalam Ayat Thaha, terdapat kisah ketika Nabi Musa yang mengatakan fungsi tongkat tersebut adalah untuk pegangan. Hal itu, menurutnya, mengisyaratkan bahwa Nahdlatul Ulama harus menjadi pedoman dan pegangan bagi warga NU untuk melaksanakan ajaran dan perintah agama dengan baik dan benar. 

Masih dalam ayat yang sama, Kyai Makki pun menjelaskan bahwa tongkat tersebut juga digunakan oleh Nabi Musa untuk merontokkan (daun-daun), yang dengan daun-daun itu kambing yang gembelakan diberi maka. Hal tersebut beliau tafsirkan sebagai isyarat bahwa perlunya pengembangan dan penguatan ekonomi oleh NU sehingga warganya juga akan memiliki kekuatan ekonomi. Bukan hanya ekonomi, tukasnya. Namun, sektor-sektor lain juga harus diperkuat sebagaimana kelanjutan ayat tersebut yang berbunyi, “Dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain” yang mengisyaratkan bahwa kebutuhan hidup lainnya juga harus diperkuat oleh Nahdlatul Ulama seperti sektor pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Tidak cukup di situ, ketika Allah menitahkan Musa dengan berkata, “Lemparkanlah ia, wahai Musa!”, perintah tersebut mengisyaratkan bahwa berbagai program tersebut harus didistribusikan (dilemparkan) kepada warga NU, sehingga mampu terserap dengan baik. Ketika tongkat sudah dilemparkan, maka tongkat tersebut akan menjadi ular besar yang bergerak memakan habis ular-ular kecil. Ular kecil ini, dalam tafsiran beliau adalah simbol-simbol permasalahan yang dihadapi warga NU, yang dengan program nyata dan besar dari NU tersebut, akan mampu dirintangi. 

Satu hal yang saya pikir, penting disorot dan digarisbawahi dari tafsir yang disampaikan secara rinci oleh Kyai Makki tersebut, yakni mengenai perlunya pengembangan dan penguatan sejumlah sektor penting di tubuh NU, meliputi ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Kita dapat menambahkan daftar tersebut menjadi relatif lebih panjang dengan sektor-sektor lain yang tak kalah penting untuk dikembangkan dan dikuatkan, semisal seni, kebudayaan, hukum, ekonomi, dll. 

Dalam kaitannya dengan topik diskusi kita, terdapat setidaknya tiga lembaga di bawah panji NU yang bergerak di sektor berbeda-beda. Ketiga lembaga yang saya maksud adalah (1) Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU), (2) Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU), dan (3) Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU). Pertanyaan sederhana yang patut kita ajukan adalah, “Sudahkah PBNU mengupayakan pengembangan dan penguatan sektor-sektor tersebut, melalui masing-masing lembaga yang membawahinya?”. Untuk ‘pengembangan’ barangkali jawabannya sudah. Dibentuknya lembaga-lembaga yang saya sebutkan di atas, setidaknya telah menjadi bukti dukung bahwa hal tersebut sejatinya sudah diupayakan oleh NU. Namun, bagaimana dengan ‘penguatannya’? Sudahkah digalakkan? 

Alih-alih mendapatkan data-data informasi yang melegakan dada untuk menepis kesangsian saya, yang justru saya dapatkan dari penelusuran ringkas yang saya lakukan hanyalah kenihilan, nan berujung kekecawaan semata-mata. Dalam polemik tambang di Trenggalek yang menuai pro-kontra sekala satu tahun yang lalu misalnya, Ketua PCNU Trenggalek justru bersikap seakan-akan netral. Alih-alih memberikan ketegasan sikap dan terjun memberi perlindungan, dalam pernyataannya, Agus Yusuful Hamdani (Ketua PCNU Kabupaten Trenggalek) malah menegaskan bahwa pihak PCNU Kab. Trenggalek sama sekali tak mendukung ataupun menolak proyek yang jelas-jelas eksploitatif dan merugikan warga Nahdliyin tersebut. Kasus yang mirip tetapi dengan respons yang jauh lebih membuat dada nyeri, dinyatakan oleh PBNU dalam menyikapi persoalan Proyek Strategi Nasional (PSN) di Pulau Rempang beberapa waktu yang lalu. Tak ada upaya dari pengurus pusat, setidaknya melalui lembaga-lembaga bentukannya seperti LPBHNU atau LPPNU untuk minimal, terjun, menghandel dan memediasi persoalan-persoalan tersebut, kecuali sekadar imbauan Gus Yahya untuk memperbanyak zikir, taqarrub ilallah, dan tetap memelihara khusnudzan kepada pemerintah dan aparat keamanan. PBNU, melalui pernyataan yang diutarakan oleh ketuanya, bahkan menyatakan bahwa negara tetap berhak mengambil tanah rakyat—sesuatu yang jelas-jelas regresif, bertolak belakang dengan produk-produk hukum yang progresif, hasil forum-forum ilmiah NU sebagaimana disebutkan di awal. Jika yang sanggup diberikan oleh PBNU hanya sebatas itu, lantas, apakah fungsi dari lembaga-lembaga semacam LBHNU yang bergerak di sektor hukum dan LPPNU yang berkecimpung di bidang pertanian tersebut dibentuk? Padahal, bukan tidak mungkin, di antara rakyat yang terdampak oleh proyek-proyek industri kapitalisme ekstraktif tersebut, adalah Nahdliyin itu sendiri.

Netralitas para elit struktural NU tersebut, jelas saja adalah netralitas yang keliru tempat. Netralitas seperti itu, seharusnya diterapkan secara konsisten dalam hajatan pemilu tempo hari. Bukan ditegaskan dalam konteks-konteks yang justru membutuhkan keberpihakan NU. Sikap-sikap demikian itu tidak saja ahistoris terhadap visi NU didirikan, tetapi juga culas dan oportunis. Gus, orang seawam saya pun bahkan dapat mengerti, Tuhan tiada akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum ia berupaya mengubah dengan tangannya sendiri. Maka, sudah bukan saatnya lagi NU hanya sibuk ngubek-ngubek perkara kelompok atau firqah Islam yang berseberangan secara akidah, perbedaan-perbedaan antargolongan dalam sintaks dan sunah beribadah, dan semacamnya, dan sebagainya. 

Ada berbagai problem umat yang lebih mendesak untuk disorot, disikapi, ditindaklanjuti, dan diberikan keberpihakan oleh Nahdlatul Ulama—ormas Islam terbesar, yang digadang-gadang sebagai potret Islam yang rahmatanlilalamin itu. Terhadap problematika yang demikian kompleks itu, NU hanya dapat memilih dua di antara dua pilihan: merepons dengan ‘Reaktif-Aktif’, atau, merespons dengan ‘Aktif-Kreatif’. Jika, ormas sebesar dan seberpengaruh seperti NU hanya berani bersikap pasif, karitatif, atau menyerahkan jentera takdir sepenuhnya pada kekuasaan Tuhan, tak perlulah muluk-muluk bermimpi tentang kemajuannya di masa depan. 

Akhirul kalam, sangat penting untuk kita pahami bersama, korporasi-korporasi baik swasta maupun nasional, merupakan sekelompok zamindar. Menyerahkan sumber daya alam kepada para zamindar itu, dengan demikian, tidak dapat disebut sebagai aktivitas-aktivitas yang dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Lagipula, atas dasar logika macam apa, menyebut sikap yang demikian itu sebagai kemaslahatan, jika justru hal itulah yang sepanjang sejarah mencatat, malah menimbulkan banyak madharat? Baik Gus Yahya, serta segenap jajaran elit PBNU, tentu bisa dengan enteng saja menyampaikan pernyataannya. Bagaimana tidak? Lha wong bukan kalangan mereka yang kelak bakal mendulang dampak destruktif dari industri tambang itu. Melainkan, masyarakat kelas bawah, wong cilik, lapisan-lapisan akar rumput nan jauh dari kursi kepengurusan Nahdlatul Ulama, tetapi pada yang sama, justru yang selama ini menjadi nadi yang mendenyutkan kehidupan Nahdlatul Ulama itu sendiri. Jika Bahlil Lahadalia menyebut konsesi tambang untuk ormas agama merupakan ‘tabungan akhirat’, bukankah sah-sah saja kalau kita menyebut potensi kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya, sebagai jejak dosa ekologis? Tidakkah dosa pun adalah tabungan akhirat? Allahua’alam [ ]


Penulis: Yohan Fikri

Referensi:

[1] Nur Khalik Ridwan, Masa Depan NU (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019)

[2] Daniel C. Dennett, Breaking the Spell (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2020)

[3] TB Amos 2: 6-7,13

[4] Karen Armstrong, Sacred Nature: Bagaimana Memulihkan Keakraban dengan Alam (Bandung: Mizan, 2023)

[5] Chusnul Khotimah, Tidak Ada Cerita Tunggal: Esai-Esai Ekofeminis Tanah Air (Yogyakarta: Interlude, 2024)

[6] Ibid.

[7] Vandana Shiva, Berdamai dengan Bumi: Kejahatan Korporasi dan Masa Depan Sumber Daya, Pangan, dan Tanah (Yogyakarta: Penerbit Independen, 2023)


Related

utama 7464240165375276915

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item