Polemik Kebudayaan, Kesusastraan, dan Ontran-Ontran

(Sumber:  KLTIV) Paweling.Com- Polemik Kebudayaan, memang, telah berlangsung jauh di beberapa dekade silam. Dan Sutan Takdir Alisjahbana, se...

(Sumber:  KLTIV)

Paweling.Com-Polemik Kebudayaan, memang, telah berlangsung jauh di beberapa dekade silam. Dan Sutan Takdir Alisjahbana, sebagai eksponen utama sekaligus biang keladi munculnya polemik tersebut, telah lama tiada. Peristiwa itu, tepatnya, dimulai pada tahun 1935, 89 tahun yang lalu, dan itu artinya, terjadi pada era di mana Republik ini masih dalam wujud sebuah gagasan belaka. 

Akan tetapi, ketika membaca kembali polemik kondang yang pernah melibatkan Takdir dan para penentangnya (Sanusi Pane, Dr. Poerbatjaraka, dr. Soetomo, Ki Hadjar Dewantara, dll) itu, saya sadar bahwa apa yang para kalangan intelektual itu perselisihkan pada masanya, nyatanya masih meriakkan kerelevansian, bergemericikan hingga dewasa ini, 89 tahun pasca polemik itu terjadi. Akan senantiasa ada sebuah paradoks yang mengambangkan tanda tanya terhadap, misalnya sikap atau gagasan para eksponen Polemik Kebudayaan. Paradoks itu, katakanlah, sesuatu yang klise seperti dikotomi antara Barat dan Timur, Orientalisme vs Oksidentalisme, yang terpancar dari tulisan para pemikir yang terlibat di dalam polemik tersebut. Sesuatu yang membuat saya bertanya-tanya, masihkah relevan cara pandang biner demikian itu untuk diugemi saat ini? Ketika bahkan para pemikir yang cenderung menentang Takdir—seseorang yang mereka sebut ‘kebarat-baratan’ itu—sejatinya manusia Timur yang dididik purgatorium intelektualitas Barat? Bagaimana dengan Takdir, sang biang kerok itu? Juga pandangan-pandangan yang ia curahkan di dalam Polemik Kebudayaan?

Hal-hal di atas, setidaknya telah dengan sendirinya menunjukkan bahwa betapa membicangkan Polemik Kebudayaan, kendati Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru Indonesia dan/atau Semboyan yang Tegas telah ditulis oleh Sang Pendiri Pujangga Baru di dekade 193o-an, menyoalkannya kembali di tahun 2024 saya kira bukanlah sesuatu yang jatuh sebagai obrolan berbusa dan nirfaedah. Malah, dalam hemat saya, menyoal-bincangkan ulang Polemik Kebudayaan di saat ini, bukan saja penting, tetapi malah ‘sangat penting’. 

Saya tak sedang mengglorifikasi masa silam supaya apa yang hendak saya tulis secara ringkas dalam esai ini, menjadi relatif menarik untuk disampaikan di forum yang akan ditaja esok. Membaca-renungkan dan menyoal kembali Polemik Kebudayaan menjadi penting dengan sendirinya, pertama, jika kita insyafi, berbagai paradoks gagasan para eksponen yang terlibat di dalam peristiwa tersebut, rupanya pun masih menggaungkan paradoks yang sama hingga dewasa ini. Kedua, ketika bahkan bangsa yang masih seumur jagung ini telah kuyup di dalam modernitas dan modernisasi (kita bahkan telah hidup di zaman yang melampaui modernitas), era di mana freedom dan equality kian diakui, kebebasan dan emansipasi lebih mendapat suaka, tetapi di sisi yang sama, yang cetha wela-wela di hadapan mata justrulah sebuah parade situasi dan kondisi kebudayaan yang jumud, ‘beku’, ‘statis’. Tasik yang tenang, tiada beriak, kata Sang Biang Keladi itu, alih-alih gerak yang maju nan dinamis sebagaimana dicita-citakannya, dan disebut-sebutnya sebagai kebudayaan baru Indonesia. Tasik yang tenang dan tiada beriak, alegori situasi statisch khas zaman yang disebut Takdir sebagai pra-Indonesia itu, adalah gunung pelindung rasa pengalang—sebuah kondisi yang membuat Takdir, serta siapa pun yang menghendaki sebuah kedinamisan ingin berontak hati hendak bebas, menyerang segala apa mengadang. Berontak, menyerang, terasa benar mengimplikasikan sebuah chaos. 

Apa yang kita hadapi sekarang sejatinya sebuah perkara yang tampaknya klise. Perkara, yang acap kita sebut sebagai krisis kebudayaan.  Namun, sifat  klise dari krisis kebudayaan itulah, justru yang membuat krisis tersebut agaknya tak usai-usai, menjadi langgeng, dan kian kompleks menjangkiti generasi ke generasi, hingga dewasa ini. Berbagai problematika mutakhir seperti, kultus terhadap habib hanyalah satu contoh. Kegandrungan masyarakat kita terhadap teknologi-informasi, tetapi latah dalam pemanfaatannya, kegagalan masyarakat kiwari dalam membaca dan mengevaluasi sejarah, adalah contoh-contoh yang lain.

▪ ▪ ▪

Takdir, pada dasarnya, bukanlah orang pertama dan satu-satunya orang yang mengkritik dan mencemooh kebudayaan sendiri, didorong oleh semangat mengentaskan diri dari romantisisme masa silam, bayang-bayang mitos, alam-pikir bertudung takhayul. Tjipto Mangunkusumo, misalnya, kita tahu, adalah tokoh pergerakan yang menolak keras budaya feodalistik khas Jawa. Hanya saja, memang, dalam penolakannya tersebut ia tak seperti Takdir yang seorang manusia Renaisans dan cenderung memuja etos bangsa Barat. Menariknya, Ki Hajar Dewantara pun, yang dapat dengan mudah dan gegabah kita labeli seorang tradisionalis bila menengok posisi penentangannya terhadap modernisasi sosial yang dikehendaki Takdir, sejatinyalah seseorang yang tidak berbeda jauh dengan Takdir atau Tjipto. Dengan mendirikan Sekolah Liar, ia menolak nasionalisme Jawa dan mengembangkan ide kebangsaan yang internasionalis. 

Takdir, dalam hal ini, agaknya mengalami sebuah keluputan dalam memerhitungkan. Kepercayaan pada pencerahan dan optimismenya, modernitas dan rasionalitasnya, cidra ing supata. Tak ada tasik yang tenang tiada beriak—sebuah gambaran bagi kondisi pra-Indonesia yang dicercanya itu, sebetulnya, sebagaimana ia tulis secara liris di dalam sajaknya. Mata Takdir yang seorang elit, terlampau berkabut untuk sampai menjangkau realitas yang terjadi di masyarakat kelas bawah. Posisi pandangan Takdir yang menghendaki adanya sebuah kebudayaan Indonesia baru yang bergerak lempang-melaju secara dynamisch, diartikulasikannya dengan sikap yang justru cenderung statisch. Kebudayaan Indonesia Baru yang dikehendaki Takdir dengan intelektualisme, individualisme, egoisme, dan materialisme khas ruh Barat itu adalah proyeksi kestatisan dalam artinya yang lain; ‘kesamaan’ alih-alih ‘kesatuan’, dalam arti yang sesungguhnya.

Materialisme—satu di antara empat hal yang ditekankan Takdir—yang menghendaki penaklukan terhadap alam sebagai sumber penghidupan, misalnya, tidakkah akan bertentangan dengan prinsip-prinsip kebudayaan masyarakat agraris kelas bawah yang pusparagam wujudnya, dengan spiritualitas dan moralitas sebagai titik tekannya? Dengan demikian, posisi Takdir sejatinyalah paradoks dan ambivalen. Di satu sisi, ia menginginkan adanya sebuah kebudayaan yang otonom, individual, lepas dari romantisisme masa lalu, tetapi di saat yang sama, ia amnesia dalam memertimbangkan konteks, bahwa kemajemukan masyarakat—terutama yang berada di luar lingkaran intelektual-elit seperti dirinya—merupakan satu hal yang tak terbantahkan di Indonesia.

Berkebalikan dengan Takdir, Ki Hajar Dewantara, kendatipun ia dasarnya adalah tokoh yang berada di lingkaran elit-intelektual, tampaknya lebih menyadari kondisi masyarakat kelas bawah dengan segala kemajemukannya tersebut. Sehingga darinya, ia mencetuskan satu konsep pendidikan Indonesia yang, andai kita sadari, langgeng digunakan hingga di kemudian hari, hingga di zaman ini. Sebuah konsep pendidikan yang mengawin-mawinkan antara yang tradisional dan yang modern; kebudayaan Timur yang arif dan intelektualisme Barat nan kritis. Sekat biner politik identitas Barat-Timur itu, dengan kata lain, diatasi oleh Ki Hajar Dewantara. Sesuatu yang tak kita dapati pada sikap Takdir.

Jika takdir menyebut para peserta Kongres Permusyawaratan Keguruan, termasuk di antaranya tentu saja adalah Ki Hajar Dewantara sebagai anti-intelektualisme, kita boleh saja sepakat. Namun, tuduhan yang dilontarkan Takdir pun tak sepenuhnya tepat sasaran. Ia sedikit meleset. Kekhawatiran Ki Hajar Dewantara serta segenap peserta kongres tersebut, yang diklaim tanpa dilatari alasan yang jelas, hemat saya, tetap mengandung alasan yang jelas, sebetulnya. Intelektualitas yang telah menjelma intelektualisme sebagaimana objektivitas yang tersunjam ke jurang objektivisme, saya kira memang layak dicemaskan—untuk tak menyebutnya ditentang. Sebab intelektualitas yang telah menjadi -isme, sesuatu yang berulang dan konsisten didengungkan Takdir, sangat mungkin akan berpotensi menafikan personalitas, keunikan masyarakat Indonesia sebagai sebuah individu. Keseimbangan di antara keduanya itulah yang hendak diwujudkan Ki Hajar Dewantara melalui pendidikan Taman Siswa.

Apa pun itu, melalui sepak-terjang sosok-sosok seperti Takdir, Ki Hajar Dewantara, serta para eksponen lain yang terlibat di dalam Polemik Kebudayaan, tahulah kita bahwa guna mewujudkan gerak maju nan dinamis dalam berbagai hal—termasuk di dalam merumuskan konsep kebudayaan—sebuah chaos yang dilahirkan melalui polemik, melalui ‘ontran-ontran’, menjadi demikian pentingnya untuk diadakan. Sebuah polemik, dalam hal ini, menjadi medan percaturan gagasan sebelum merumuskan visi yang kan jadi markah untuk menentukan haluan langkah ke depannya. 

Bukankah tradisi demikian ini, telah sepi, bahkan di titik tertentu, ‘mati-suri’ dalam konstelasi kebudayaan di Indonesia? Bahkan di antara kalangan intelektual yang berkecimpung di dalamnya sekalipun? Hal tersebut misalnya terlihat dari ‘pelembagaan budaya’ dan/atau ‘budaya yang dilembagakan’, sehingga darinya, membuat kebudayaan itu sendiri justru mengalami kemandegan. Sifat dynamisch dari kebudayaan pun pupus, tampak dari pengertian-pengertian masyarakat dan para stakeholder-nya yang demikian reduktif. 

Iklim yang statis dalam lanskap kebudayaan secara luas tersebut, pada akhirnya, sedikit-banyak juga berdampak pada ekosistem kesusastraan di Indonesia. Bagaimanapun, sastra merupakan bagian dari artefak kebudayaan. Kita semua sepakat dengan itu. Krisis kebudayaan yang ditandai dengan situasi kebekuannya itu, tak pelak berdampak pada kejumudan ekosistem kesusastraan. Untuk mewujudkan sebuah ekosistem kesusastraan yang sehat, yang progresif, mutlak yang kita perlukan adalah sebuah chaos, sebuah ontran-ontran, suatu polemik.

Chaos yang lahir dari sebuah polemik dan/atau ontran-ontran yang saya maksud di sini, tentu saja bukan pertengkaran banal yang sekadar sibuk mengurus perkara-perkara semacam plagiarisme, pemuatan ganda, atau dikotomi sastra populer dan sastra serius; isu-isu klasik-musiman yang sering ramai jadi debat-kusir sepintas lalu di beranda media sosial kita. Bukan berarti, saya lantas menganggap perbincangan mengenai hal-hal demikian itu tak sepenuhnya penting. Hanya saja, untuk menuju telos kesusastraan Indonesia yang dinamis-progresif, menyibukkan diri dengan polemik-polemik yang hanya melulu berkutat pada hal-hal demikian itu, tak begitu berdampak signifikan terhadap kemajuan kesusastraan kita.

Lagipula, sejarah kesusastraan kita telah tak kurang-kurangnya mencawiskan catatan bahwa tumbuh-kembang kesusastraan kita—sebagai bagian dari gerak dinamis kebudayaan—senantiasa disertai oleh berbagai chaos, berbagai polemik, dan purwa-rupa ontran-ontran. Pujangga Baru yang dimotori oleh Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Amir Hamzah, adalah chaos yang menggoyahkan kejumudan Balai Pustaka dengan majalah Panji Pustaka, serta sensor-sensornya. Di periode setelahnya, Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, tiga tonggak penting Angkatan ’45 itu, bagai utusan yang secara khusus menunjuk kelompok mereka (Gelanggang Seniman Merdeka) untuk menuntun laju kesusastraan Indonesia eksodus menuju modernisme artistiknya. Meninggalkan tasik yang tenang dan tiada beriak, lanskap-lanskap lirisisme pastoral khas para penyair pendahulunya. Mereka menjadi ontran-ontran, bagian dari upaya menuju pada kesadaran perjuangan kebudayaan; menggugat belenggu kekuasaan yang menerungku kreativitas seni—visi besar yang kemudian mereka proklamirkan melalui Surat Kepercayaan Gelanggang, manifesto kebudayaan pertama pasca kemerdekaan Indonesia itu. 

Polemik yang melibatkan kelompok Manikebu dengan humanisme universal vs Lekra dengan Realisme Sosialnya, pertarungan Sastra Universal kontra Sastra Kontekstual, perdebatan kritik sastra kelompok Ganzheit dengan aliran Rawamangun, Sastra Keagamaan, Sastra Wangi, Sastra Digital, atau yang relatif mutakhir, Sastra Pesantren, adalah sekian contoh chaos yang lebih dari cukup untuk sekadar menunjukkan bahwa adanya ontran-ontran, terlepas dari berbagai kepentingan yang melibatkan para eksponen di dalamnya, telah menciptakan sebuah dinamika. Pertanyaan yang kemudian patut kita lontarkan adalah, “Bagaimanakah situasi yang terjadi di Indonesia era kiwari?” Pertanyaan yang saya lebih lontarkan kepada diri saya pribadi itu, sejatinyalah pertanyaan yang cukup berat untuk saya jawab bermodalkan wawasan dan pengalaman saya yang tak seberapa. Oleh sebab itu, apa yang saya sampaikan ini barangkali lebih bersifat pandangan yang subjektif, menurut apa yang saya lihat, berdasar apa yang saya rasa dan alami. 

Apa yang kemudian saya rasa kian rompal dan menyusut di ekosistem kesusastraan sekeliling saya, barangkali ialah tradisi ‘kritik’. Di tengah kecenderungan masyarakat sastra kebanyakan yang gemar melontarkan gita-puja terhadap karya seseorang yang dimuat di rubrik sastra berhonor ‘kebanggaan’, atau memenangi sebuah sayembara bertiras tertentu, apa yang harus segera kita insyafi ialah ‘melemahnya tradisi kritik’ di sebaliknya; kemampuan menyikapi sebuah karya sastra sebagai problem, sebuah teks yang cara mengapresiasinya tidak cukup hanya dengan dibaca (lebih-lebih disanjung-sanjung), melainkan juga dipersoalkan, dievaluasi. 

Hal di atas mungkin juga makin kompleks jika dihubungkan dengan minimnya ruang yang menyediakan suaka bagi esai-kritik itu sendiri. Sebuah media yang menyediakan rubrik kritik sastra, misalnya, dapat kita hitung dengan ruas jari. Kita mungkin dapat menyebut dua nama media: Tengara dan Kalam. Pada saat yang sama, penulis-penulis sastra terus berlahiran, kian menjamur jumlah mereka untuk turut menyemarakkan arena kesusastraan Indonesia. Namun, mengkambing-hitamkan miskinnya ruang suaka bagi esai-kritik sastra juga tak sepenuhnya bijak, selain juga akan bertumbuk dengan situasi ironis sedikitnya jumlah kritikus yang lahir dari rahim akademisi sastra.

Perkara ini, juga bakal menjadi semakin pelik bila kita tengok pengajaran kritik sastra di bangku perkuliahan, di kampus tempat saya belajar misalnya, malah sering terjerembab di situasi-situasi, yang—meminjam catatan redaksi majalah Kalam tempo hari—‘tanpa kesastraan’. Situasi yang sudah keruh itu, kian diperkeruh sebab dalam dua-tiga dasawarsa terakhir kian marak penggunaan ‘teori’ secara rudapaksa; sebuah ‘akademisme’ yang tidak tecernakan dengan baik. Satu capaian yang demikian jauh dari predikat ‘memuaskan’ jika yang kemudian kita angan-angankan ialah progresivitas, gerak maju nan dinamis. 

Saya tentu saja, tak berhak memaksa muda-mudi yang mengenyam pendidikan di jurusan sastra—utamanya Sastra Indonesia—untuk naik ke bus sepi penumpang ini. Namun, penting pula saya ingatkan bahwa situasi dan kondisi nan statis itu bukan terjadi semerta-merta begitu rupa. Kestatisan tersebut ‘terbentuk’ dan ‘dibentuk’, serta ‘difaktori’ oleh berbagai hal; berbagai malapraktik akademik yang justru dilanggengkan sebagai suatu kebenaran universal yang kebas dari penentangan. Mata kuliah kritik sastra dengan produk akhir artikel (berpretensi) ilmiah yang sering menempatkan karya sastra semata-mata laiknya sebuah kadaver di atas meja bedah, pameran-pameran akhir perkuliahan apresiasi sastra yang menjadikan karya sastra tak ubahnya barang antik dan pernak-pernik, dan akhirnya hanya mengendap di galeri gawai seorang penonton, adalah dosa-dosa intelektual akademikus sastra. 

Maka, yang kemudian hilang dari budaya kesusastraan kita hari-hari ini—setidak-setidaknya di lingkungan sekitar yang melingkupi kehidupan kesusastraan saya—barangkali adalah sebuah chaos, sebuah polemik, suatu ontran-ontran. Bahwa untuk menuju sebuah telos—tujuan akhir yang tak akan berakhir itu—yang kita mutlak butuhkan ialah sebuah chaos itu. Tradisi kritik, dalam hal ini, adalah medium yang kiranya mampu mengakomodasi hal tersebut. 

Setiap kali gunung pelindung menjelma rasa pengalang, sebuah polemik yang dilandasi ketulusan kiranya berfungsi sebagai upaya penting untuk merintangi gunung-penghalang tersebut. Manakala keserbaamanan dan/atau keserbamapanan justru menjadi batu hambatan untuk mencapai telos, sebuah ontran-ontran menjadi perlu diadakan untuk memungkinkan sebuah progress tetap berada di jalur yang dinamis. Tanpa kedinamisan itu, tentu sajas, sebuah gerak maju, sebuah progress, dan telos sebagai orientasinya, semakin muhal kita wujudkan [ ]


Penulis: Yohan Fikri




Related

utama 137998312159360443

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item