Seberapa Kalkulatifkah, Kalkulasi Maslahat-Mafsadat Tambang PBNU Itu, Gus?
Sumber: Ilya Naymushin/detikfinence Paweling.Com- Tentang tendensi fikih yang dijelaskan Gus Ulil ( akh , saya jelas cumalah kerak nasi, cum...
Sumber: Ilya Naymushin/detikfinence |
Paweling.Com-Tentang tendensi fikih yang dijelaskan Gus Ulil (akh, saya jelas cumalah kerak nasi, cumalah intip sega bila dibanding keilmuan beliau di bidang agama) mengenai konsesi tambang yang dilandaskannya pada dalil al-ihtisab (kebolehan segala sesuatu berdasar hukum asal; batubara, misalnya, bukan sebuah hal yang hukum asalnya “haram”; maka tambang batubara pun tidak bisa dihukumi haram) dan maslahah mursalah, secara nalar fikih, barang tentu relevan. Terlebih lagi, Gus Ulil pun sudah menafsil lebih lanjut nan tegas, bahwa secara dzatiyah, batubara bukanlah perkara yang haram. Adapun faktor eksternal yang dapat membuat suatu hal yang pada mulanya dan/atau secara dzatiyahnya “halal” kemudian menjadi “haram” (haram lighairihi), jika kita cermati uraian beliau, dapat disiasati. Baiklah! Saya, serendah-rendahnya, menjura terhadap penjelasan detail nan canggih yang telah diutarakan oleh beliau. Kendati demikian, bukan berarti apa yang disampaikan beliau kemudian dapat begitu saja kita terima. Saya, sekali lagi, hendak “melihat NU dari luar pagar”. Saya, bukan siapa-siapa. Sekadar warga kecil Nahdliyyin yang dengan segala keterbatasan, berniat urun rembug. Didengar tak didengar, direspons ataukah diabaikan, itu perkara lain.
Begitu tuntas membaca setidak-tidaknya 3 kali pembacaan terhadap tulisan bernas Gus Ulil di beranda Facebook-nya yang ramai menuai berbagai tanggapan, kesan pertama-tama yang saya dapatkan adalah, ngapunten sanget, Gus, sebuah “blunder”. Blunder pemahaman mirip dahulu beliau gagal paham antara sains dan saintisme. Selama ini, yang dikecam oleh para aktivis lingkungan agaknya bukanlah “tambang”-nya, sebagaimana dituduhkan Gus ulil. Lebih-lebih, dengan dimotori oleh pandangan yang menganggap “tambang” itu sesuatu yang bersifat najis. Yang mereka kritik, ialah tata kelola pihak-pihak terkait terhadap alam dan sumber dayanya, yang cenderung komodifikatif, kapitalistik, eksploitatif, dan destruktif. Segala aktivitas yang, tidak hanya menimbulkan degradasi kualitas dan/atau kualitas alam, melainkan juga degradasi kualitas kehidupan masyarakat bersangkutan, di berbagai segi—yang, sialnya, luput dari amatan berbagai pelaku dan pemangku kebijakan kita.
Saya bahkan tak mengerti “Barat” yang manakah yang dimaksud oleh Gus Ulil. Beliau pun tak menjelaskan di manakah misalnya, bukti konkret begitu “isu lingkungan” masuk ke wacana kritis sehingga bertransformasi menjadi sebuah-isme dan/atau akidah, lantas bermuara pada sikap penajisan tambang dan sejenisnya? Jika pun ada, relevankah yang beliau sebut sebagai “Barat” itu untuk menjadi mistar generalisir dalam menilai resistensi aktivis lingkungan di Indonesia? Vandana Shiva, Siti Maemunah, Aleta Baun, dan sekian nama lain yang mungkin belum disebut, sebagai para penggerak aktivis lingkungan, agaknya sama sekali tak mengindikasikan apa yang diklaimkan oleh Gus Ulil.
Entah wawasan saya yang masih sekubang hujan bila dibandingkan dengan keilmuan beliau yang (bila dibanding saya) selapang telaga ataukah bagaimana, sehingga saya merasa, berbekal “sepengetahuan” yang saya dapat dari sejumlah literatur ekokritik yang saya pernah baca, klaim Gus Ulil dapat saya bilang tak tepat sasaran. Sebagai sebuah “-isme”, ekofeminisme spiritual misalnya, memandang bahwa budaya yang memosisikan tubuh perempuan sebagai sesuatu yang sakral, juga memosisikan alam dengan derajat yang sama sakralnya, menghormati siklus, serta segenap ritmenya. Para ekofeminis spiritualis sering menarik hubungan analogis antara peran perempuan dalam produksi biologis dan peran "Ibu Bumi" atau "Ibu Pertiwi" dalam memberikan kehidupan dan menciptakan semua yang ada. Karena peran perempuan dianalogikan sebagai ibu, para ekofeminis spiritualis meyakini bahwa hubungan perempuan dengan alam memiliki keistimewaan dibandingkan dengan kaum laki-laki. Mereka mengkritik dan mengevaluasi praktik-praktik proyek-proyek industri ekstraktif sembari merestorasi etika manusia terhadap lingkungan dalam kerangka berpikir teologis, dengan menggaungkan kembali konsep “ibu-bumi”, “gaia”, “terra mater”, dan sejenisnya, dengan mendasarkan praksis perjuangan mereka pada prinsip-prinsip semacam (1) imanensi, (2) interkoneksi, dan (3) kehidupan penuh kasih—prinsip-prinsip, yang, sama sekali bertolak-belakang dengan para pelaku eksploitasi, dengan segala dalil dan dalih logika pembenarannya.
Bertolak dari satu contoh kecil di atas, artinya, sebagai sebuah “-isme” atau “akidah” (jika diistilahkan dalam bahasa Islam menurut Gus Ulil) wacana kritis tersebut tak mengecam apalagi menajiskan “tambang”. Material tambang itu, justru dipandang sebagai “kesucian” secara transenden, atau bagian dari komunitas “biotik” jika dilihat secara imanen, persis seperti manusia, sehingga dualitas antara “subjek yang berkesadaran” dan “non-berkesadaran” ala antroposentrisme, dienyahkan. Singkatnya, yang mereka kecam ialah aktivitas-aktivitas manusia bersangkutan terhadap tata-kelola alam dan sumber dayanya, yang cenderung destruktif dan eksploitatif sebab bertentangan dengan misalnya, prinsip keterhubungan universal antara manusia dan non-manusia alih-alih “alam dan sumber dayanya” sebagaimana apa yang dapat saya tangkap dan pahami dari klaim Gus Ulil. Kendati demikian, beliau berjanji akan memberikan penjelasan terkait bagaimana penajisan segala macam yang saya bantah lebih dahulu itu, di tulisan beliau selanjutnya.
Sekali lagi, saya mengakui kecakapan Gus Ulil dalam menafsil sebuah problem. Saya bahkan menikmati betul tulisan itu. Namun, lagi-lagi, tidak lantas pengakuan saya begitu saja meloloskan tulisan beliau dari evaluasi kita bersama (saya sejatinya sungkan menyebut kata “evaluasi”, sebab betapa dangkalnya ilmu yang saya miliki ini). Sehubungan dengan “kalkulasi maslahat-mafsadat”, misalnya, hemat saya, ada kemungkinan-kemungkinan “mafsadat” yang jauh melampaui kalkulasi yang beliau ajukan. Mafsadat itu, tidak hanya berpotensi merugikan pada rakyat kecil, tetapi sekaligus juga marwah PBNU itu sendiri. Kemungkinan-kemungkinan ini, sebagaimana sifat “kemungkinan” pada umumnya, barangkali akan terasa mengawang. Kemungkinan-kemungkinan ini, boleh jadi juga hanya suatu perasaan was-was yang lahir dari kecemasan dan/atau ketakukan yang berlebih. Namun, kecemasan-kecemasan ini tentu saja tak berangkat dari langit nan kosong. Ia lahir dan/atau dilahirkan dari dan oleh “trauma” pengalaman yang sudah-sudah, personal ataupun kolektif. Betapa pun itu, kemungkinan-kemungkinan ini kiranya menjadi penting untuk dipertimbangkan. Saya ingin memulainya dengan merestorasi kembali memori kita pada pernyataan Al-Mukarram Gus Yahya Cholil Staquf selaku Ketua PBNU.
***
Sewaktu Al-Mukarram Gus Yahya tempo hari bilang, bahwa NU sudah lama melarat; dan saking lamanya miskinnya, sehingga untuk sekadar berimajinasi menjadi kaya saja tak pernah, saya secara pribadi merasa, pernyataan bernada seloroh itu terbaca sebagai sesuatu yang jika dihubungkan dengan perkara tambang dan PBNU, akan “kontradiktif” dan “problematis”. Semangat Gus Ulil dalam menjabarkan permasalahan tambang dengan tendensi fikih lingkungannya pun, pupus terhantam seloroh, yang dengan sendirinya telah menampilkan “tujuan dasar” dari pengelolaan tambang yang akan dijalankan oleh PBNU. Tujuan dasar yang saya maksud itu adalah, “menjadi kaya.” Salahkah jika PBNU menjadi kaya? Bukankah kekayaan tersebut bertujuan untuk kemaslahatan? Mari kita coba diskusikan perkara ini, pelan-pelan.
Dalam pernyataan itu, Gus Yahya, menurut saya, secara tersirat memandang sekaligus memosisikan bahwa Nahdliyyin, PBNU, sebagai kaum “mustadhifin”; kaum yang tertindas. “Miskin”, adalah “kata kunci” yang mengindeks posisi tersebut. Maka, atas dasar itulah muncul “ghirah”, “imajinasi”, “angan-angan” untuk membebaskan diri dari situasi ketertindasan dan/atau kemiskinan yang sudah lama, dengan berupaya menjadi “kaya”. Adapun, jalan yang ditempuh untuk mewujudkan imajinasi menjadi kaya itu, kita tahu, adalah dengan menerima konsesi tambang. Hal tersebut, dalam hemat saya, bertujuan untuk mengangkat harkat-martabat kemanusiaan warga NU itu sendiri. Tujuan, yang, betapa amat mulia. Sejalan dengan tujuan “menjadi kaya” yang berorientasi pada “kemaslahatan” tersebut, Gus Ulil pun memberi penegasan. Dalam pandangan beliau, mustahil menghentikan penggunaan energi fosil seperti minyak, gas, dan batubara secara mendadak untuk saat ini. Oleh sebab itu, menurut Gus Ulil, terminasi secara total penggunaan batubara, sekarang, jelas akan menimbulkan mafsadat (chaos/kekacauan) besar, sebab mayoritas konsumsi energi yang dipakai hari-hari ini pun, terutama listrik, masih dipasok oleh batubara. Saya sepakat dengan Gus Ulil, bahwa kondisi ini pada akhirnya menghadapkan kita semua—dalam konteks polemik ini, terutama—pada situasi dilematis yang menghasilkan dilema moral sebagaimana beliau juga katakan. Dilema itu adalah, antara memakai batubara tetapi menimbulkan emisi karbon yang bisa menyebabkan pemanasan global, atau, menghentikannya sama sekali, tetapi bisa menimbulkan kekacauan yang luar biasa. Namun, perihal sikap yang kemudian beliau suguhkan dalam menyikapi dilema tersebut, saya cenderung tak sepakat. Pilihan yang diajukan Gus Ulil mengenai keharusan kita memilih mafsadat yang lebih ringan di antara dua mafsadat yang ada, bagi saya, terkesan simplifikatif. Begini duduk perkaranya.
Kemungkinan yang rawan melahirkan “madharat-mafsadat” di kemudian hari, bagi saya, tidak cukup hanya diatasi bermodalkan khusnudzan, bahwa PBNU kelak pasti mampu mengatasinya bermodalkan pada pemahaman atas fikih lingkungan, atau tendensi agama yang lain, jika toh ada. Sebab hal ini adalah problem yang tidak cukup dirintangi hanya dengan hukum fikih. Itulah mengapa saya menyebutnya simplifikasi permasalahan. Penting bagi kita untuk tak sekadar mengandalkan nalar fikih dari dalil-dalil Gus Ulil mengenai al-ihtisab dan maslahah mursalah, atau dar’ul mafasid dan idza ta’aradlat mafsadatani itu, secara tekstual. Bahwa kedua dalil dan kaidah pokok tersebut dapat diterima secara rasionalitas kita setelah dijabarkan oleh beliau, tentu. Tentu saja. Persis sebagaimana dikatakan Gus Ulil sendiri, bahwa fikih tok tak memadai. Maka beliau, menguraikan secara detail bagaimana kaidah-kaidah fikih itu memungkinkan untuk diapropriasi ke dalam tata kelola tambang yang maslahat. Beliau memberi contoh kebijakan “net zero”, yang menurut beliau, basis logikanya ialah kaidah idza ta’aradlat mafsadatani. Oleh sebab itu, Gus Ulil berkesimpulan bahwa manakala dihadapkan pada dilema moral ini, jalan yang kemudian dinilai bijak adalah dengan: tetap memakai batubara sambil pelan-pelan menyiapkan strategi untuk transisi ke energi non-fosil. Simpulan ini, saya akui adalah simpulan yang tendesius, penuh pertimbangan. Pertimbangan itu pun dihasilan setelah melalui proses rasionalisasi yang dijabarkan Gus Ulil sendiri melalui kalkulasi maslahat-mafsadat tambang batubara.
Sayang seribu sayang, sebagai sebuah “Kalkulasi”, dalam amatan saya, “kalkulasi maslahat-mafsadat” yang diajukan Gus Ulil justrulah terkesan bot sih, alias tak berimbang. Saya bahkan bingung, sebenarnya tulisan itu ditujukan sebagai tesis mengenai tambang batubara yang akan dikelola PBNU berdasarkan kacamata fikih, atau, antitesis untuk aktivis-aktivis lingkungan yang diklaim Gus Ulil berpandangan ekstrem. Alih-alih menjabarkan maslahat di satu bandul dan mafsadat di bandul yang lain dalam neraca yang adil, apa yang disampaikan Gus Ulil, ngapunten, justru terkesan sibuk menjelaskan bagaimana fikih memberikan solusi dalam situasi yang dilematis itu, bahwa khilafiyat ulama’ adalah sesuatu yang lumrah, kritikan-kritikannya terhadap pandangan sekuler semacam munculnya sinisme terhadap khilafiyat itu dalam bentuk “cancel culture”, yang kemudian beliau pungkasi dengan apropiasi nalar fikih itu ke dalam kerangka kebijakan yang mungkin diterapkan (betapa pun masih susah dalam konteks ke-Indonesia-an).
Penjelasan-penjelasan tersebut, saya kategorikan sebagai bagian dari penjelasan mengenai kalkulasi maslahat. Dengan cara penguraian yang demikian, kalkulasi maslahat-mafsadat yang beliau sampaikan cenderung terkesan dimaksudkan sebagai upaya memersiapkan pra-konsepsi psikologis para pembaca. Pra-konsepsi psikologis ini, tanpa banyak disadari, menghadapkan “pembaca” pada sebuah dua opsi simpulan yang sejatinya sama belaka: “maslahat semata-mata” dan “semata-mata maslahat”. Kalkulasi itu, dengan kata lain, hanyalah kalkulasi kemaslahatan. Mafsadat itu, memang, dijelaskan juga oleh Gus Ulil. Namun, hanya di bagian terakhir kalkulasinya, dengan porsi yang sedikit, di jelang kesimpulan, seakan-akan sekadar pelengkap. Padahal, penjelasan mengenai mafsadat secara kontekstual yang relevan dengan kondisi yang terjadi di Indonesia kurun belakangan, adalah satu hal yang penting beliau uraikan di dalam kalkulasi itu. Dengannya, bobot penilaian yang adil mengenai keduanya (maslahat-mafsadat) dapat ditimbang dengan lebih presisi.
Di dalam kalkulasi itu, misalnya, tak ada penyebutan sekian contoh praktik industri ekstraktif di tanah air yang sudah berjalan dan dijalankan di Indonesia, yang faktanya, sangatlah jauh dari imajinasi indah kemaslahatan model manapun. Oleh sebab itu, menanti transisi menuju energi non-fosil, akan sama dengan ungkapan njagakne ndog blorok dalam ungkapan Jawa, yang itu berarti, menanti sesuatu hal yang tak jelas kepastiannya. Kepastian itu, sejauh ini, bukan hanya tak jelas, bahkan tak diupayakan menjadi jelas, sama sekali. Yang jelas pasti sejauh ini hanyalah jejak-jejak kerusakan dan kerugian, baik bagi ekosistem maupun masyarakat bersangkutan; fakta-fakta yang tak cukup sekadar logis jika dianalisis, bahkan konkret dan empiris mencolok mata, betapa pun fakta-fakta itu, kerap kali ditutup oleh hegemoni media. Maka, penolakan-penolakan yang dilontarkan oleh berbagai pihak terhadap sikap PBNU, kemungkinan bertolak dari fakta-fakta tersebut. Barangkali mereka khawatir, bahwa ketika kelak PBNU telah benar-benar terjun dan kuyup dengan iklim kekuasaan begitu rupa, tak ada yang mengingatkan bahwa iklim tersebut rawan menumbuhkan rasa kepemilikan yang sedemikian perkasa pada para pelakunya. Tidakkah yang terjadi selama ini adalah demikian?
Jika sudah begitu, kesadaran kepemilikan tersebut, jamak akan cenderung mengubah segala sesuatunya menjadi semata-mata objek, semata-mata—meminjam istilah Leopold—“properti”. Bumi, harta, kekayaan, produksi, karya cipta manusia (bahkan manusia itu sendiri), waktu, dan segala hal, direduksi sedemikian rupa sebagai “objek” yang berada di bawah kemauan para pelakunya. Mengubah sesuatu menjadi objek daya beli (komodifikasi), menjadikan kekayaan sebagai ukuran dan memandang laba adalah segalanya, dan kebermanfaatan dimaknai sebagai “memiliki lebih banyak” adalah logika-logika kapitalistik, konsep-konsep pemikiran khas materialistik para “penindas”—sesuatu yang dengan mudahnya kita lacak sidik jarinya di berbagai proyek industri ekstraktif semacam tambang, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lain.
Jujur, saya tak sedang mengatakan PBNU kelak akan menjadi “penindas” rakyat kecil. Kembali lagi saya tegaskan, kemungkinan-kemungkinan ini lahir dari kecemasan yang wajar, sah, dan berlandaskan bukan pada isapan jempol. Saya—dan mungkin juga banyak pihak—cemas, bahwa bahkan “sang tertindas” pun suatu saat sangat mungkin menjadi “penindas”. Bahwa ketika “si miskin” yang dulunya penuh tepa slira dengan sesama menjadi “si kaya”, tak menutup kemungkinan, ia akan menjadi “si kaya” yang sama, yang materialistis, yang kapitalistis, persis seperti kelompok yang “si miskin” itu kecam pada mulanya sebelum ia menjadi “si kaya”. Transformasi masyarakat Quraisy Makkah pra-Islam, misalnya, dari yang semula masyarakat nomadik nan egaliter menjadi masyarakat individualis dan kapitalis sebagai akibat dari transisi Makkah menjadi metropolitan cum pusat perdagangan itu, pada akhirnya melunturkan nilai-nilai kemurnian mereka di masa lalu. Oleh sebab itu, kami rakyat kecil, Nahdliyyin atau bukan, yang berada di bawah, yang sebagian dari kami mungkin berada di wilayah yang kelak sangat mungkin terimbas dampak buruk tambang PBNU selagi menanti transisi energi non-fosil yang entah, yang sungainya mungkin kelak akan tercemar limbah, yang tanahnya mungkin kelak akan rusak dan terdegradasi, yang udaranya mungkin kelak tak nyaman dihirup lagi, yang lokus religiusnya hilang tergusur diremuk segala baja, tetapi dinilai tak seberapa mafsadat dibanding maslahat yang didapat, bukankah pantas jika lantas merasa cemas? Lagipula, berapakah ukuran ideal banyak dan sedikit dari mafsadat itu? Dan, bagaimana pula kita memistarnya?
Gus Ulil, kita tahu, “memiliki” adalah pra-syarat mutlak untuk “mengada”. Semua manusia membutuhkannya. Maka, tanah, batu, air, hutan, sumber daya alam, entitas-entitas alam yang “dimiliki” oleh masyarakat di suatu wilayah (yang sering direnggut “kepemilikannya”—sesuatu yang pernah dikecam NU sebagai tindakan kriminal) pun, adalah pra-syarat mutlak bagi mereka untuk “mengada”. Saya, kiranya tak perlu menjelaskan bahwa “tanah”, misalnya, diyakini sebagai “asal” sekaligus “takdir” manusia oleh sebagian budaya. Dengannya mereka “mengada”. Bahwa “tanah” adalah manifestasi fisik dari sangkan paraning dumadi. Dengannya mereka “mengada”. Bahwa “alam” bagi sebagian masyarakat di sejumlah kebudayaan, adalah “identitas”, adalah “ibu”, dan semacamnya, dan semacamnya. Dan dengannyalah mereka “mengada”. Maksud saya adalah, menampik bahkan menafikan keyakinan-keyakinan yang melibatkan mereka dengan alam yang mereka rawat dan merawat mereka, sama artinya dengan menghilangkan “Harkat Kemanusiaan” mereka sebagai manusia seutuhnya. Harkat kemanusiaan itu, dengan kata lain, dianggap tak lebih sekadar “barang”, sekadar “objek”, semata “properti”. Tidakkah akan sangat ironis dan kontradiktif, jika konsesi tambang yang ditujuankan untuk “menjadi kaya” guna mengangkat “Harkat Kemanusiaan” warga Nahdliyyin tersebut, di sisi yang sama justru merenggut “Harkat Kemanusiaan” manusia yang lain? Tidakkah hal ini berpotensi menjadikan marwah PBNU justru menuju arah yang regresif?
Itulah yang kerap terjadi. Di Australia, dulu, dulu sekali, penafian terhadap “Harkat Kemanusiaan” serupa itu pernah dilakukan oleh kebijakan kolonial Inggris terhadap masyarakat suku Aborigin, yang dilandaskan pada logika terra nullius (tanah tak bertuan). Bahwa tak peduli berapa ribu tahun pun Aborigin merawat alam serta segenap entitasnya, mendiami dan mengelola tanah yang mereka tinggali, segala kepemilikan tersebut dengan entengnya diambil-alih oleh orang-orang asing itu, dengan dalih bahwa mereka, orang Aborigin itu, bukanlah “tuan sang pemilik tanah” sebab mereka tak berperadaban. Tanah itu pun dinilai sebagai tanah yang mandul sebab tak menghasilkan komoditas global. Produktivitas, dengan demikian, diartikan hanya dengan makna yang demikian sempitnya; menafikan bagaimana pandangan manusia-manusia yang telah merawatnya sedemikian rupa terhadap alam dan segala entitasnya. Logika yang sifatnya begitu lentur ini, dapat begitu mudahnya dimodifikasi dalam berbagai praktik kebijakan, di Timor, di Papua, di berbagai kebijakan pembangunan yang destruktif, dengan segala purwa-rupa eufemisme penjenamaannya, Gus. Sebut saja, ekonomi hijau, reboisasi, hilirasi tambang, dll. Ketika saya menulis ini, saya cemas, bukankah istilah fikih lingkungan pun, dalam praktiknya, sangat mungkin dimanfaatkan untuk pembenaran kepentingan-kepentingan demikian ini? Naudzubillah. Semoga Allah melindungi kita.
Dukungan dan penolakan terhadap konsesi tambang PBNU, saya kira tidak bisa dilihat sesederhana sebagai perkara khilafiyat semata-mata. Lalu apa? Dan, bagaimana mustinya? Ah, tanda tanya itu, terasa sebagai jurang antara cemas dan bimbang. Gus Ulil pun agaknya mengalami kebimbangan serupa; satu konsekuensi logis dari situasi nan dilematis ini. “Berapa juta orang yang terdampak oleh kebijakan terminasi semacam ini? Berapa juta murid yang harus kehilangan kesempatan belajar karena mati listrik akibat terminasi penggunaan batubara, misalnya?” tanya beliau, dengan nada yang saya bayangkan penuh air muka dilema. Betapa pun, kebimbangan tersebut telah beliau usahakan untuk diatasi dengan menawarkan sudut pandang dalam melihat problematika NU dan tambang ini melalui kacamata fikih lingkungan.
Saya kira, penolakan-penerimaan yang disertai dengan serentetan dalil pembenarannya, atau tendensi penolakannya, pada akhirnya tidak akan menemu ujung. Betapa pun itu penting, sebagai misalnya, kekayaan khazanah sudut pandang dalam merumuskan kebijakan yang tepat di masa mendatang. Akan lebih bijak, saya kira, jika yang dicawiskan kepada masyarakat adalah rancangan-rancangan yang sistematis, mengenai misalnya: bagaimana konkretnya kelak tambang itu akan dikelola oleh PBNU—bertolak dari berbagai mafsadat dari aktivitas tambang yang sudah-sudah; siapa sajakah pihak-pihak terkait yang akan terlibat untuk menghandel proyek tersebut; bagaimanakah hak-hak masyarakat yang tersangkut, misalnya mengenai hak kepemilikan tanah (agraria) yang sejauh ini kerap merugikan rakyat kecil dapat dipenuhi, sehingga apa yang dijalankan PBNU, kelak tidak jatuh sebagai tindakan perampasan dan perusakan yang menindas wong cilik (dan itu berarti “jinayat”—sesuatu yang telah menjadi pembahasan sekaligus produk hukum forum-forum ilmiah yang ditaja NU di masa lalu); dan sebagainya, dan sebagainya. Hanya dengan jalan demikian, kami, Nahdliyyin yang menolak bisa meninjau dan memberikan evualasi sebagai kontrol.
Kehalalan yang didasarkan pada hukum asal, diperteguh dengan tujuan kemaslahatan, tidak akan berarti apa-apa tanpa tata-kelola yang memungkinkan keduanya tidak terjerembab sebagai “jargon” semata-mata “jargon”. Gus Ulil, saya pikir sepakat. Ketimbang membeberkan tendensi logis secara nalar hukum Islam, lalu memberikan simpulan bijak tetapi mengambang dengan meminta masyarakat menanti strategi transisi energi non-fosil sembari tetap merealisasikan tambang itu, alangkah lebih berterima jika yang dicawiskan adalah solusi konkret mengenai perkara-perkara yang kerap melindih nasib wong cilik dahulu, yang kerap terjadi sebagai akibat dari proyek-proyek industri ekstraktif tersebut. Sebab, mau bagaimanapun, jika akhirnya yang dihasilkan dari proyek tambang PBNU itu di masa depan ternyata (naudzubillah) adalah kemafsadatan alih-alih kemaslahatan, merekalah yang kan gupak pulute, ora mangan nangkane. Merekalah pihak-pihak yang akan terdampak secara langsung. Jika sudah begitu, jangan sampai yang terjadi justru PBNU nabok nyilih tangan, bersembunyi di balik dalil dan kaidah fikih yang lain lagi.
***
Ada satu analogi menarik dari Gus Ulil, yang beliau sitir dari kerangka berpikir Aristoteles. “Jika supir membelokkan bus (yang rusak remnya dan akan masuk ke jurang), seluruh penumpang akan selamat,” kutipnya. “Tetapi dengan resiko menabrak seorang anak yang sedang melintas. Jika ia terus, bus akan tercebur ke jurang dan seluruh penumpang akan tewas. Mana pilihan yang harus diambil oleh supir?”. Contoh kasus dari literatur fikih, dengan konteks yang mirip sebagaimana di atas, diajukan juga oleh Gus Ulil untuk menggambarkan dilema moral yang lahir sebagai konsekuensi situasi dilematis ini. Seorang yang sedang haji, terancam mati karena kelaparan, katanya. Sementara itu, di hadapannya, hanya tersedia dua pilihan untuk survive. Pilihan pertama, memakan bangkai (yang diharamkan oleh agama). Pilihan kedua, memakan daging hewan hasil buruan (yang juga diharamkan dalam agama; semua hewan yang ada di tanah suci [Mekah dan Madinah dengan batas-batas tertentu] tidak boleh diburu dan diganggu untuk menghormati kesuciannya). “Menghadapi keadaan dilematis seperti ini,” demikian simpul Gus Ulil, “fikih memberikan jalan keluar: boleh memakan daging hewan buruan walau pun haram. Sebab level keharamannya lebih ringan dari bangkai.”
Sebagai pemungkas diskusi ini, saya ingin ajukan pertanyaan-pertanyaan yang saya landaskan dari analogi terebut. PBNU, jika kita alegorikan sebagai sebuah bus, benarkah sebuah bus dengan rem yang sudah blong? Bagaimana jika terjadi adalah, bus dengan supir yang lalai? Namun, sebagai sebuah bus yang supirnya lalai, sebab sedang terkantuk-kantuk misalnya, bus itu punya supir lapis kedua, punya kondektur tak hanya seorang. Apakah supir gajul dan para kondektur itu membiarkan begitu saja sang supir mengarahkan bus njlungup masuk ke jurang? Jika sang supir sudah diperingatkan, tetapi dia abai, siapa yang salah dan pantas disalahkan? Apakah sang sopir bus tak melihat pengalaman-pengalaman masuk jurang yang menimpa bus-bus yang sudah-sudah?
Adapun, mengenai analogi yang digunakan Gus Ulil dari literatur fikih itu, saya pun tak sepenuhnya sepakat, betapa pun itu hanya analogi. Relevankah, menganalogikan situasi yang dihadapi PBNU, atau Nahdliyin saat ini sebagai selaiknya seorang yang sedang haji dan terancam mati tersebab kelaparan yang amat-sangat? Benarkah kita berada di situasi “kelaparan” yang semendesak itu, sehingga kita akan sintas, survive, hanya jika kita memilih satu di antara dua larangan (bangkai dan hewan buruan yang disucikan, yang keduanya sama-sama dihukum haram) yang paling minim kadar keharamannya? Jangan-jangan, posisi kita sebetulnya tidak “segenting” yang dianalogikan. Kita selayaknya sangsi, jangan-jangan, dilema ini lahir lantaran kegagalan dalam membedakan antara “kelaparan” dengan “lapar”? Manakah yang sedang dialami PBNU sebetulnya? “lapar” ataukah “kelaparan”? Ataukah malah bukan kedua-duanya, bukan “lapar” atau “kelaparan” melainkan “Lapar” dan “Kelaparan” yang lain?
Penulis: Yohan Fikri