Jejak Kopi di Ponorogo: Catatan Pembacaan Awal
Sumber : KITLV, 1890. Paweling.Com- Kongkow warung kopi yang liar dan acak terkesan tak serius. Bahkan dianggap suara khayali yang hanya k...
Sumber: KITLV, 1890. |
Paweling.Com- Kongkow warung kopi yang liar dan acak terkesan tak serius. Bahkan dianggap suara khayali yang hanya keluar dari mulut seorang pecinta kopi. Saat ngobrol tentang keberadaan kebun kopi di Ponorogo, saya pun berpikir demikian masa dulu ada kebun kopi di Ponorogo?
Asumsi ini berpatok pada cerita masa lalu. Konon ada seorang Warok bernama Martopuro yang berani membunuh Asisten Residen Belanda di kediamannya, yakni komplek kantor asisten residen (sekarang SMP N 1 Ponorogo). Dengan keris simbol harga diri orang Jawa, Antoni Willen Viensen ditusuk hingga tewas. Sangat berani membunuh Raja Singa di kandangnya. Entah apa yang jadi ajimatnya, tetapi gegara Martopuro merasa diinjak-injak martabatnya, dia bertekad menebus harga dirinya.
Usut punya usut, kasus penyelundupan biji kopi jadi sebab Antoni Willen Viensen bersinggungan dengan istrinya saat bertamu di kediaman Martopuro. Jatah setor biji yang di mandori Martapuro membuat Asisten Residen itu harus melakukan sidak. Kopi yang dikapitalisasi pemerintah Hindia-Belanda itu membuat si Asisten bertamu kurang sopan. Berani menggoda istri Martopuro, si mandor atau mantri gudang kopi. Peristiwa itu lalu bergulir, menjelma sanepa: meteng pitung (7) beruk.
Dasar Martopuro dan istri tak tegaan melihat warganya menderita membuat sepasang priyayi itu berani menanggung konsekuensi. Ngide untuk menyusutkan hasil panen kopi agar para penggarap kebun kopi dapat penghasilan lebih. Agar lebih sejahtera hidupnya.
Saya yang masih meragukan romantisasi cerita lokal ini, turut terkagum dengan keberanian Martopuro. Sungguh teramat sayang, catatan pembunuhan itu agak sulit dicari. Mungkin memang saya yang kurang teliti, atau ada hal lain yang menutupi?
Cerita heroik ini selalu teringiang di kepala saya. Meskipun saya tak ada tenaga lebih untuk terus mencari data-data pendukung kebenaran peristiwa. Berjalannya waktu, ada titik terang rujukan literatur. Bukan soal peristiwa yang terlalu sensitif merawat kebencian terhadap kolonialisasi, akan tetapi terkait keberadaan kebun kopi di Ponorogo.
Minat dan lingkup kajian masa lalu yang saya lakukan menuntun pada sinar terang data faktual perihal kebun kopi Ponorogo. Hiperbolis! Tak apalah. Yang penting ada cerita yang bisa jadi bahan kongkow di warung kopi. Data keberadaan kebun kopi itu tercatat dalam beberapa arsip Kolonial.
Tentu, laporan itu bukan laporan yang prioritasnya pada kebun kopi. Tapi laporan penemuan prasasti saat eskavasi. Koninklijk Bataviaasch Genootschap (lembaga seni dan ilmu pengetahuan) menjadi wadah pusat pemerintah kolonial gencar meneliti beragam temuan masa lalu di Hindia-Belanda. Dan berkat laporan itu, membuka keberadaan kebun kopi di Ponorogo. Yakni kebun kopi Condrogeni yang terletak di Pudak, afdeeling Panaraga (Residentie Madion).
Ada tiga prasasti yang ditemukan di kebun kopi Condrogeni yakni prasasti Condrogeni I (1376 Saka atau 1454 Masehi), Prasasti Condrogeni II (1334 Saka atau 1414 Masehi), dan Prasasti Condrogeni III (1334 Saka atau 1412 Masehi). Ditemukan pula altar batu, fragmen Ganesha, dan tiga arca sosok raksasa. Prasasti ini tercatat dalam laporan kuartal pertama tahun 1912 M saat ekskavasi diperkebunan kopi Condrogeni. Bukan masalah prasasti tapi minimal di tahun 1912 M kebun kopi Condrogeni masih eksis di Pudak.
Catatan berikutnya diperoleh dari laporan penelitian geologi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda di Ngebel. Pada laporan perencanaan pembangunan irigasi di Ngebel (1920 M) , keberadaan kebun kopi juga terdeteksi. Perencanaan pembangunan irigasi itu pun mempertimbangkan fungsinya untuk kelancaran pengolahan biji kopi di Ngebel.
Secara lebih rinci sejak kapan dan bagaimana eksistensi kopi Ponorogo atau di mana letaknya secara tepat, masih perlu riset panjang nan teliti. Namun, keberadaannya di abad abad XX dipastikan eksis di Ponorogo. Kerincian historis kopi Ponorogo agaknya urusan nanti. Urusan bagaimana kolaborasi, sinergisitas, serta kerelaan antar masyarakat dan pengambil kebijakan. Setidaknya, kopi secara realitas pernah hidup di Ponorogo.
Entah sejauh mana gaung kopi Ponorogo di masa lalu, yang pasti para petani (kalau kasar disebut buruh) pribumi Ponorogo pernah menyumbangkan tenaganya dalam masa eksistensi kopi sebagai komoditas Pemerintah Hindia-Belanda. Kini, cerita eksistensi kopi hanya tersemat dalam cerita heroisme warok Martopuro. Sosok priyayi yang berani melawan arus besar nan kuat masa pemerintah Hindia-Belanda.
Seorang priyayi yang konon sebagai Mantri Gudang Kopi. Menegur pemerintah Hindia-Belanda dengan cara paling sarkas. Hingga tewasnya seorang Asisiten Residen Madiun di kediamannya. Mengerikan!
Bergantinya ruang kongkow warung kopi, pertanyaan saya pun beralih. Obrolan lingkaran hangat meja perkopian seketika menjelma senyap. Sembari nyeruput pelan cangkir kopi, berangsur efek dopaminnya terasa. Tetiba saya menerawang jauh.
Di mana ya letak kebun dan Gudang kopi Mertopuro? Bagaimana ya sistem perkebunan yang diterapkan? Slupppp!!!
Penulis: Frengki Nur Fariya P